© 2020 Https://www.unsplash.com/Windows
Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa lingkungan "beracun" yang dulu ada di kantor, kini juga berpindah saat bekerja dari rumah.
Budaya toksik itu sendiri dicirikan oleh perilaku jahat, ketidaksopanan, perilaku agresif dan perlakuan interpersonal yang buruk.
Perilaku toksik di tempat kerja umumnya mengacu pada ketika seseorang yang memiliki kekuasaan, seperti manajer, menggunakan kekuasaan untuk menargetkan individu lain dan menyebabkan kerugian psikologis. Bagi para pekerja, perilaku beracun ini ternyata juga berpindah ke dunia online.
Menurut salah satu pengembang perangkat lunak yang bekerja di perusahaan di Los Angeles, AS mengatakan melihat perilaku beracun ini secara online dari kolega dan manajer saat bekerja dari rumah.
Kondisi ini menyebabkan moral tim menurun, akibat kerja yang berlebihan, kurangnya pengakuan dan pesan agresif dari pimpinan yang menurutnya tidak akan ditoleransi di kantor.
Karena itu, mengutip dari CNBC, Sabtu (12/12/2020) para ahli menjelaskan apa dan bagaimana perilaku toksik di kantor dapat terbawa hingga bekerja dari rumah:
Banyak yang kehilangan informasi saat bekerja dari jarak jauh, mengakibatkan peluang untuk miskomunikasi dan ketersinggungan.
Dengan sebagian besar orang berinteraksi dari jarak jauh melalui teks tertulis, pesan yang lebih pendek dan hemat waktu dapat dengan mudah dibawa ke arah yang salah.
Jadi untuk mengatasi masalah ini, manajer harus menghubungi karyawan dengan tepat dan mencoba menggunakan video atau panggilan suara jika memungkinkan.
Meskipun pertemuan virtual dapat menghilangkan hambatan terhadap koneksi profesional, pertemuan tersebut juga dapat memperlebar kesenjangan bagi mereka yang terabaikan selama pertemuan.
Satu survei menemukan bahwa 45 persen pemimpin bisnis wanita mengatakan sulit bagi wanita untuk berbicara dalam pertemuan virtual dan satu dari lima wanita mengatakan mereka merasa diabaikan oleh rekan kerja lainnya.
Untuk mengatasi masalah ini, rekan kerja dan supervisor harus menghubungi karyawan untuk menghasilkan empati dan rasa ingin tahu ketika mereka mengetahui bahwa ada sesuatu yang salah.
Menurut survei, 68 persen orang melaporkan mengalami kelelahan saat bekerja dari rumah, karena khawatir dengan pekerjaan, stres tentang rumah tangga, dan tidak adanya pemisahan antara pekerjaan dan kehidupan rumah.
Pekerja yang merasa seperti ini dapat terus melakukan interaksi negatif dengan orang lain seperti bersikap kritis secara tidak profesional.
Atau bahkan meninggalkan rekan kerja dalam proses pengambilan keputusan untuk menyelesaikan masalah dengan cepat.
Sehingga manajer berperan besar dalam menetapkan batasan kehidupan kerja. Seorang pemimpin dapat menciptakan lingkungan yang toksik dengan mengharuskan karyawan untuk online dan tersedia di luar jam kerja.
Dari situlah rasa frustrasi muncul ketika terlalu dibatasi. Manajer harus mengizinkan pekerja untuk mengontrol waktu mereka sendiri.
Manajer sering kali menjadi kontak pertama untuk konflik di tempat kerja. Namun, dalam lingkungan kerja yang toksik, konflik sering kali diciptakan oleh pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaan. Jadi akan lebih baik untuk berbicara dengan supervisor atau HR lain.
Ketika perilaku toksik menjadi masalah yang meluas, sekutu baik di dalam organisasi maupun di luar dapat menjadi penting untuk bertahan hidup di ruang profesional yang tidak mendukung.
Kamu dapat mencari sekutu seperti pekerja tingkat senior atau kolega dari departemen lain yang dapat membantu memecahkan masalah.
Tetapi itu tidak memperbaiki segalanya. Dalam beberapa kasus, jauh dari kantor dapat menjadi pelarian dari lingkungan kerja yang toksik. Seorang dokter medis yang meminta untuk tidak disebutkan namanya mengatakan bahwa kesehatan mentalnya membaik setelah dia memutuskan untuk bekerja dari rumah.