©Wikipedia Commons
Ngomongin soal pendidikan di Indonesia tentu tak lepas dari peran penting Ki Hajar Dewantara. Perjuangannya mendirikan perguruan taman siswa, perguruan nasional dianggap sangat berani. Setelah merdeka, pemerintah RepublikIndoneisa kemudian mengangkatnya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1950 dan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1959.
Ki Hajar Dewantara diangkat sebagai Bapak Pendidikan Nasional atas perannya dalam memperjuangkan pendidikan nasional tahun 1922-1959. Berikut ini fakta-fakta sejarah tentang Ki Hajar Dewantara yang dikutip dari berbagai sumber:
Ki Hajar Dewantara lahir pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Beliau adalah anak dari Gusti Pangeran Haryo Soerjaningrat, atau cucu Sri Paku Alam III. Dari genealoginya, Ki Hajar Dewantara adalah keluarga bangsawan Pakualaman.
Ki Hajar Dewantara berasal dari lingkungan keraton Yogyakarta. Nama asli atau nama lain Ki Hajar Dewantara adalah Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Di umur 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, beliau mengganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara agar lebih mudah bergaul dengan rakyatnya.
Karena statusnya, beliau mendapatkan pendidikan Europeesche Lagere School (ELS), yakni Sekolah Rendah untuk Anak-anak Eropa. Namun beliau nggak senang karean teman-teman sepermainnya ngak mendapatkan pendidikan seperti dirinya. Setelah lulus, Ki Hajar Dewantara melanjutkan pendidikan di STOVIA yang biasa disebut Sekolah Dokter Jawa. Sayangnya pendidikan tersebut tak dituntaskannya karena faktor kesehatan.
Dilansir dari buku 'Ki Hajar Dewantara, Pemikiran dan Perjuangannya' dalam Repositori Kemdikbud, setelah meninggalkan STOVIA, Suwardi Suryaningrat belajar sebagai analis pada laboratorium Pabrik Gula Kalibagor, Banyumas. Karena dicabut kesempatan belajarnay secara cuma-cuma, setahun kemudian beliau memutuskan keluar. Selanjutnya beliau menjadi pembantu apotiker di Apotik Rathkamp, Malioboro Yogyakarta (1911), sambil menjadi jurnalis (wartawan) pada Surat Kabar“ Sedyotomo”(Bahasa Jawa) dan “ Midden Java” (Bahasa Belanda) di Yogyakarta dan “ De Express” di Bandung.
Setahun kemudian, Suwardi Suryaningrat dipanggil oleh Dr. E.F.E. Douwes Dekker ke Bandung untuk bersama-sama mengasuh Surat kabar Harian “ De Express”. Tulisan pertamanya berjudul “ Kemerdekaan Indonesia”. Selanjutnya karier jurnalistik dan politiknya melejit melalui berbagai organisasi dan surat kabar.
Puncak karir Suwardi uryaningrat sebagai wartawan ialah saat beliau menulis “ Als ik eens Nederlander was”, sebuah risalah terkenal yang betisi sindiran tajam terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Dicetak sebnayak 5 ribu eksemplar, risalah ini berisi protes kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang merayakan kemerdekaan mereka dari jajahan Prancis.
Karena tulisannya yang pedas dan tajam, Tiga Serangkai : Suwardi Suryaningrat, dr. Cipto Mangunkusumo dan Dr. E.F.E. Douwes Dekker ditangkap dan ditahan dalam penjara.
Pada 18 Agustus 1913 keluarlah putusan dari Keputusan Pemerintah Hindia Belanda
N0. 2a, Suwardi Suryaningrat dibuang ke Bangka, dr. Cipto Mangunkusumo ke Banda Neira, dan Dr. E.F.E. Douwes Dekker ke Timor Kupang. Namun kemudian ketiganya meminta untuk dibuang ke Nederland. Bukan tanpa tujuan. Mereka ingin melanjutkan perjuangan mereka di Belanda.
Sebenarnya nih Suwardi Suryaningrat bisa bebas dari hukuman dengan bersedia jadi Guru Pemerintah Hindia Belanda di Bangka. Namun tawaran tersebut dia tolak.
Menjadi tahanan Pemerintah Hindia Belanda, bagaimana tangapan keluarga Suwardi Suryaningrat yang seorang bangsawan?
Saat sidang pengadilan dan vonis dijatuhkan, ayahandanya K.P.A. Suryaningrat, hadir. Selesai sidang, Suwardi Suryaningrat langsung menghampiri ayahandanya dan sanga yah mengulurkan tangannya sambil berkata “ Aku bangga atas perjuangannya. Terimalah doa dan restu Bapak. Ingat, seorang ksatria tidak akan menjilat ludahnya kembali”.
sebagai malam perpisahan sebelum diasingkan, keluarga K.P.A.
Suryaningrat di Yogyakarta diadakan selamatan dengan menggelar pentas wayang kulit semalam suntuk dengan lakon “ Dewa Mambang”. Lakon ini secara implisit menggambarkan perjuangannya mengangkat harkat dan martabat bangsanya.
Dalam pembuangannya di Belanda bersama dengan istrinya, R.Ay. Sutartinah, R.M. Suwardi Suryaningrat hidup serba kekurangan. Kehidupan mereka disokong oleh dana yang dikumpulkan oleh para pengurus Indische Partij yaitu “ TADO (Tot Aan De Onafhankelijkheid) Fonds” dan sebagai jurnalis di berbagai harian. Di sana juga Suwardi Suryaningrat menerangkan kondisi tentang masyarakat Indonesia, melawan berita bohong yang disebarkan oleh Belanda.
Selama dibuang, Suwardi Suryaningrat memperdalam ilmu pendidikan hinga mendapatkan Akte Guru Eropa. Sang istri mengajak di Frobel School yaitu Taman Kakan-Kanak di Weimaar, Den Haag.
Dr. Cipto pulang ke Indoensia di tahun 1914 karena sakit, disusul oleh Dr. E.F.E. Douwes Dekker pada tahun 1918. Sedangkan Suwardi Suryaningrat baru
bisa pulang pada tahun 1919. Sebenarnya nih Suwardi Suryaningrat sudah dibebaskan pada 17 Agustus 1917 tapi baru pulang dua tahun kemduian karena saat itu sedang berkecamuk Perang Dunia 1 di Eropa dan karena kekurangan dana.
Setalh pulang ke Indonesia, Suwardi Suryaningrat terkena ranjau “ delict pers” atas pidati dan tulisannya yang pedas. Beliau dihukum penjara hingga berkali-kali.
Gagasan tentang pendirian Perguruan Taman Siswa tak lepas dari peran sang istri. Saat sedang menjenguknya di penjara, sang istri berkali-kali mengingatkan tentang pentingnya suatu Perguruan Nasional yang mendidik kader-kader perjuangan untuk menentang penjajah sebagaimana yang disampaikan oleh K.H. Ahmad Dahlan. Perguruan Nasional Tamansiswa kemudian lahir pada 3 Juli 1922 tujuan untuk memperjuangkan hak rakyat Indonesia mendapatkan pendidikan.
Ada empat strategi pendidikan Ki Hadjar Dewantara, diantaranya :
1. pendidikan adalah proses budaya untuk mendorong siswa agar memiliki jiwa merdeka dan mandiri
2. membentuk watak siswa agar berjiwa nasional, namun tetap membuka diri terhadap perkembangan internasional
3. membangun pribadi siswa agar berjiwa pionir- pelopor
4. mendidik berarti mengembangkan potensi atau bakat yang menjadi kodrat alamnya masing-masing siswa.
Ki Hajar Dewantara menilai bahwa majalah dan suart kabar adalah wahan yang penting bagi suatu lembaga untuk menyebarkan cita-citranya. Untuk itu, beliau menerbitkan brosur dan majalah " Wasita" (tahun 1928-1931), " Pusara" (1931), Majalah " Keluarga" dan " Keluarga Putera" (1936).
Di bidang kesenian, Ki Hadjar Dewantara mengarang buku methode/notasi nyanyian daerah Jawa " Sari Swara" , diterbitkan tahun 1930 oleh JB. Wolters dan sebelumnya menciptakan lagu/gendhing Asmaradana " Wasita Rini" yang dibuat bagi para anggota Wanita Tamansiswa
Pada 3 Februari 1928 Suwardi Suryaningrat genap berusia 40 tahun menurut tarikh Jawa (5 windu) dan berganti nama Ki Hadjar Dewantara. Apa arti nama tersebut?
Menurut Ki Utomo Darmadi, Hadjar : pendidik; Dewan : Utusan; tara : tak tertandingi. Jadi maknanya: Ki Hadjar Dewantara adalah Bapak Pendidik utusan rakyat yang tak tertandingi menghadapi kolonialisme.
Dalam sistem pendidikan yang digunakannya, Ki Hajar Dewantara dikenal dengan semboyan berbahasa Jawa yang berbunyi : " ing ngarso sung tulodo" , " ing madyo mangun karso" , " tut wuri handayani" yang artinya " di depan memberi contoh" , " di tengah memberi semangat" , " di belakang memberi dorongan."
Ki Hajar Dewantara wafat pada 26 April 1959 dalam usia 70 tahun dan dimakamkan di pemakaman keluarga Taman Siswa Wijaya Brata, Yogyakarta. Atas jasa-jasanya, hari kelahrannya yakni setiap tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.
tulisan lainnya tentang nama lain Ki Hajar Dewantara dan perjuangannya bisa kamu baca di artikel berikut.