© Tumisu On Pixabay
Setelah menempuh perjalanan panjang selama 10 tahun, RUU TPKS (Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) akhirnya dissahkan DPRI RI menjadi Undang-Undang pada Selasa, (12/4). Seluruh fraksi yang hadir pada rapat menyatakan setuju.
“Kami menanyakan pada setiap fraksi apakah UU Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dapat disetujui menjadi Undang-Undang?” tanya Ketua DPR RI Puan Maharani dalam rapat paripurna.
“Setuju,” jawab anggota.
Setelah palu diketuk, ruang rapat paripurna langsung dipenuh dengan suara membahana tepuk tangan dari para peserta rapat. Ini adalah kabar gembira bagi mereka yang tak lelah berjuang agar Indonesia memiliki Undang-Undang yang mengatur tentang penanganan dan pencegahan kekerasan seksual pada perempuan
Seperti yang diketahui, RUU TPKS telah melalui perjalanan panjang dan berliku. Sejak digagas oleh Komnas Perempuan sepuluh tahun yang lalu dan dukungan dari koalisi masyarakat sipil, RUU PKS melalui banyak rintangan. Di tahun 2016, draft RUU PKS telah diserahkan kepada presiden Jokowi. Namun pada akhirnya 2016 berlalu begitu saja.
Di akhir tahun 2017, RUU PKS masuk dalam 50 RUU yang masuk Prolegnas Prioritas 2018. Untuk membahas RUU tersebut, berbagai pihak ikut urun pikiran mulai Aliansi Cinta Keluarga Indonesia, pakar hukum dan pidana, MUI, Persekutuan Gereja Indonesia, dan masih banyak lagi.
Namun sayangnya, RUU PKS tak segera disahkan. Komnas Perempuan kemudian semakin mendesak DPR terlebih ketika kasus Baiq Nuril mengemuka.
Tahun 2019 adalah babak baru pengesahan RUU PKS. Berbagai suara kontra bermunculan. Beberapa alasan yang menyeruak penolakan pengesahan ini antara lain anggapan bahwa RUU PKS adalah undang-undangan pelegalan zina, mengandung feminisme Barat yang anti agama, dan lainnya.
Di tahun 2020, Baleg DPR menarik RUU PKS dari RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Artinya RUU PKS nggak masuk dalam daftar rancangan pelaksanaan Prolegnas Jangka Menengah. Mereka beralasan karena pembahasaan RUU PKS agar sulit diatur karena terbentur aturan pemidanaan dan definisi kekerasan seksual itu sendiro.
Akibatnya, terjadi gelombang aksi massa olah mahasiswa dan masyarakat di berbagai daerah. Massa mendesak urgensi pengesahan RUU ini mengingat makin banyaknya kasus kekerasan seksual di masyarakat.
Setelah desakan beramai-ramai tersebut, RUU PKS masuk dalam usulan Prolegnas Prioritas 2021. Di bulan September di tahun yang sama, RUU PKS diubah namanya menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan alasan agar lebih membumi. Tak hanya itu, sekitar 85 pasal dihapus dan lima jenis kekerasan seksual.
Apa yang berubah?
Sebelumnya, ada sembilan bentuk kekerasan yang diatur dalam RUU PKS antara lain :
AKan tetapi, RUU TPKS cuman menyisakan empat bentuk kekerasan yang diatur yakni :
Pada akhirnya nih Badan Legislatif DPR setuju kalau draft RUU TPKS jadi usulan inisiatif DPR. Dan hari ini, UU TPKS akhirnya disahkan dengan mengatur sembilan bentuk kekerasan seksual.
Apa saja isinya?
Ada delapan bab dengan 93 pasal yang mengatur pencegahan, penanganan dan pemidanaan dalam kasus kekerasan seksual dengan perpektif korban, dalam UU TPKS yang saat ini udah disahkan.
Pada RUU TPKS, mengatur perbuatan kekerasan seksual yang sebelumnya bukan tindak pidana atau baru diatur secara parsial.
Pada bab II pasal 4 atau (1) ada sembilan bentuk kekerasan seksual yang diatur, antara lain:
Nggak cuman itu, dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) termaktub 10 tindak pidana kekerasan seksual yaitu:
1. Pemerkosaan
2. Perbuatan cabul
3. Eksploitas seksual terhadap anak
4. Perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban
5. Pornografi yang melibatkan anak atau secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual
6. Pemaksaan pelacuran
7. Tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual
8. Kekerasan seksual dalam rumah tangga
9. Tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana kekerasan seksual
10. Tindak pidana lain yang dinyatakan sebagai kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan.
Pemerkosaan dan Aborsni Nggak Masuk dalam RUU TPKS
Sebab menurut Ketua Panjang RUU TPKS, Wuilly Aditya sebagaimana yang diberikana oleh Liputan6, ini karena pemerkosaan dan abornsi nggak diatu dalam draft RUU TPKS.
Pemerkosaan sudah diatur dalam UU lain yakni KUHP. Namun pemerkosanaan masuk masuk dalam salah satu jenis kekerasan seksual lainnya dalam RUU TPKS.
Perihal aborsi juga sudah diatur dalam UU lain yakni UU Kesehatan. Sehingga dengan demikian kedua jenis kekerasan seksual tersebut diputuskan untuk tidak dimasukkan agar tidak tumpang tindih dengan UU lain.
Salah satu bentuk kekerasan yang diatur dalam UU ini adalah Kekerasa Berbasis Gender Online yang termuat pada pasal 14 ayat (1). Apa isinya?
Ini mengatur tentang larangan buat merekam atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar persetujuan orang yang menjadi objek.
Di pasal 2, larangan menyebarkan dokumen elektronik yang bermuatan seksual tanpa persetujuan penerima. Nah ini penting banget nih untuk menjerat orang yang suka mengirim foto atau materi bermuatan seksual kepada orang lain secara random yang sering terjadi di sosial media.
Well, pengesahan RUU TPKS menjadi Undang Undang ini adalah bentuk kehadiran negara dan memebrikan rasa keadilan terhadap perempuan para korban kekerasa seksual. Yuk kita kawal implementasinya di masa mendatang ya!