© Shutterstock
Setiap manusia berhak hidup dengan layak. Tak peduli gender, entah itu lak-laki dan perempuan. Bahkan ketika seseorang sedang dalam keadaan terpuruk, sudah seharusnya kita sebagai manusia membuat dia bangkit lagi, bukannya memanfaatkan keterpurukannya sebagai kelemahan.
Di sebuah media sosial, ada seseorang perempuan yang mencurahkan hatinya. Melalui akun Twitter @Victoriayovita, di sanalah kisah itu dibaca banyak orang.
Begini kisahnya.
Sejak SMP, aku sudah kehilangan gimana rasanya punya orang tua. Bukan berarti benar-benar kehilangan. Ayahku seorang teknisi lapangan, sedangkan Mamaku seorang pekerja kantoran di salah satu perusahaan tambang. Intinya, aku dan orang tua ku beda pulau. Ada sih Kakak, cuma dia liar kota karena tugas dinas.
Sementara itu, aku tinggal dengan Tanteku, Kakak Mama. Dia tinggal sendirian, belum menikah. Di sana, sialnya, aku mendapatkan perlakukan kasar terus menerus. Aku dipukulin, bahkan sampai babak belur. Aku merasa begitu sakit, dan ternyata aku didiagnosis anxiety.
Pada saat itu, aku berpikir, kenapa nasibku seperti ini, kenapa aku begitu berbeda dengan wanita lain?
Namun ketika kelas 2 SMA, aku mengenal seorang lelaki. Dia baik sekali. Dia dengan sabar mendengarkan ceritaku setiap hari. Kupikir dia adalah cahaya hidupku. Kupikir, aku telah jatuh cinta.
Singkat cerita, akhirnya kami berdua berpacaran. Setelah 6 bulan berhubungan, kami akhirnya berhubungan badan selayaknya suami-istri. Tak ada paksaan di sini. Ya, kami melakukannya atas dasar sama-sama suka dan sadar. Aku melakukannya sampai hubunganku dengannya telah mencapai 1 tahun.
Namun, ternyata aku hamil. Aku sempat tak mengetahui bahwa aku hamil. Saat kita berdua sama-sama mengetahui bahwa aku hamil, kami bertengkar hebat. Saking hebatnya, aku sampai stres berat, dan akibatnya aku keguguran.
Aku nangis bukan main. Setiap dan sepanjang malam aku selalu menangisi anakku yang keguguran. Bayi itu tidak salah-apa-apa.
Keguguran, Hamil Lagi
Aku membicarakan dengan pacarku tentang bayi yang telah gugur itu. Tapi, dia malah menuduhku tanpa dasar. Katanya, anak itu bukanlah karena pacarku. Gila, hatiku hancur bukan main mendengarnya.
Namun begitu bodohnya aku. Sebulan kami lost kontak, kemudian dia tiba-tiba menghubungiku lagi. Aku begitu bahagia mendengar kabarnya. Dia kembali menghubungiku untuk minta 'jatah'. Di sini letak kebodohanku: Aku men-iya-kannya.
Dan hubungan suami-istri itu terus kami lakukan, hingga akhirnya aku hamil lagi.
Aku hamil lagi, dan kuberitahulah pacarku mengenai ini. Awalnya, pacarku tidak ada respons apa-apa. Namun di malam harinya, dia memberiku sebuah obat. Dia menjelaskan bahwa itu obat untuk menguatkan kandungan dedek bayi.
Mendengar hal itu, tentu saja aku senang. Tanpa pikir panjang aku minumlah obat itu, dua butir. Namun, beberapa saat kemudian aku mules bukan main, bahkan sampai kencing darah. Batuk dan muntah hebat mengikuti setelahnya, sampai darah keluar.
Singkat cerita, bayi itu pun gugur lagi. Hancur hatiku dan seluruh hidup rasanya.
Kalau kalian jadi wanita tersebut, gimana perasaan kalian? Diperdaya, dibodohi, bahkan sampai merasa begitu bersalah karena telah menghilangkan dua nyawa. Tapi untungnya, wanita itu terus maju dan tidak putus aja. Dia pergi ke luar kota dan sekarang sudah kuliah, bahkan sudah mengajukan judul akhir skripsi. Untuk kamu, semoga kamu baik-baik saja dan sukses selalu, ya!