© Merdeka.com/Ananias Petrus
Selama pandemi virus corona semakin luas, banyak kisah sedih yang datang dari rakyat kecil. Mulai dari tukang ojol, tukang kuli bangunan, bahkan sampai pedangan kaki lima yang hanya menggantungkan penghasilan harian.
Kali ini, kisah sedih lainnya datang dari seorang bocah SD di NTT. Melansir dari Merdeka.com, begini kisahnya.
Namanya bocah ini adalah Mersi Kase. Ia adalah seorang bocah perempuan yang bersekolah di SDN Oevetnai, Desa Weulun, Kecamatan Wewiku, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur.
Keluarganya bisa dibilang berasal dari keluarga kurang mampu. Makanya agar kondisi keluarganya menjadi lebih baik, orangtuanya memutuskan untuk merantau ke Kalimantan. Dan Merci? Dia hidup seorang diri di rumahnya, NTT, sejak ia duduk di kelas tiga SD.
" Bapak ingin memperbaiki rumah dan ingin saya bisa sekolah, makanya merantau cari uang," ujar Merci polos saat ditemui.
Sejak orangtua pergi merantau, Merci selalu dikirimi uang sekitar Rp 100.000 hingga Rp. 200.000 setiap bulannya. Ia menggunakan uang itu untuk memenuhi keperluan sekolah dan kebutuhan perutnya di rumah.
Namun, karena wabah corona covid-19, Merci tak lagi menerima kiriman uang. Kedua orangtunya dirumahkan oleh perusahaan yang katanya perusahaan kelapa sawait. Jadi, orangtunya tak dapat uang. Ditambah lagi, kedua orang tuanya tak bisa pulang menemani Merci di rumah karena adanya larangan mudik oleh pemerintah.
Karena itu, Merci menggantungkan kebutuhan perutnya seadanya. Kadang ia hanya makan jagung, syukur tetangga biasa memberi.
Meski kondisi yang sedemikian pilu, semangat hidup Merci sebagai manusia dan semangat belajar sebagai seorang pelajar tak pernah padam. Di sekolah, Merci pun dikenal sebagai siswi berprestasi. Ketika pemerintah meminta untuk belajar di rumah, ya di benar-benar belajar di rumah, bukannya main dan leha-leha.
Bahkan ketika kondisi desanya yang masih banyak rumah tak berlistrik seperti rumahnya, ia tetap semangat belajar. Bahkan cita-citanya pun sangat mulia yaitu menjadi seorang dokter.
" Saya dari kelas satu sudah biasa belajar pakai pelita. Kalau jam tidur dimatikan, agar hemat minyak tanah," kata Merci. " Biar pakai pelita, tetapi saya dari kelas satu sampai kelas enam, selalu juara satu atau dua. Saya ingin jadi dokter, Doakan supaya orang tua saya bisa kumpul uang.
Selain menghabiskan waktunya untuk belajar, Merci juga suka menggunakan waktu senggangnya untuk menulis puisi. Tepat pada tanggal 2 Mei kemarin, Merci berulanag tahun, bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).
Ia tak ada kue atau ucapan ulang tahun seperti anak-anak lain yang kita tahu. Bahkan ketika ia sudah rela berjalan jauh ke desa tetangga untuk mengecas handphonenya agar bisa berbincang dengan orang tuanya, ia tak jadi berbicara dengan bapak dan ibu tercinta. Ia pun meneteskan air mata.
" Malamnya bapa dengan mama telepon dan minta saya siap cas handphone, karena besoknya tanggal 2 Mei, saya ulang tahun. Paginya saya jalan kaki cas di rumah keluarga. Setelah cas, saya kembali ke rumah untuk menelepon, tetapi tidak diangkat, mungkin bapa dengan mama sedang bekerja," tuturnya.
Agar kesedihan sirna, Merci pun membacakan sebuah puisi yang diperuntukan para guru yang berjudul Pahlawan Pendidikan, karya Ayu Pratiwi Saleh.
Jika dunia kami yang dulu kosong
tak pernah kau isi
Mungkin hanya ada warna hampa, gelap
tak bisa apa-apa, tak bisa kemana-mana
Tapi kini dunia kami penuh warna
Dengan goresan garis-garis, juga kata
Yang dulu hanya jadi mimpi
Kini mulai terlihat bukan lagi mimpi
Itu karena kau yangmengajarkan
Tentang mana warna yang indah
Tentang garis yang harus dilukis
Juga tentang kata yang harus di baca
Terimakasih guruku dari hatiku
Untuk semua pejuang pendidikan
Dengan pendidikanlah kita bisa memperbaiki bangsa
Dengan pendidikanlah nasib kita bisa dirubah
Apa yang tak mungkin kau jadikan mungkin
Hanya ucapan terakhir dari mulutku
Di hari Pendidikan Nasional ini
Gempitakanlah selalu jiwamu
Wahai pejuang pendidikan Indonesia.
Untuk Merci, semoga kamu menjadi anak yang sukses dan tercapainya cita-cita. Semoga pandemi corona ini cepat berakhir, agar Merci bisa kembali berkumpul dengan orangtuanya.