Kisah Pemerkosaan Anak di Korea dan Protes Masyarakat lewat Film

Reporter : Dhewi Bayu Larasati
Selasa, 31 Desember 2019 12:37
Kisah Pemerkosaan Anak di Korea dan Protes Masyarakat lewat Film
Film garapan Korea Selatan nggak cuman berkualitas dari sisi visual, cerita, dan penggarapannya. Mereka juga digunakan sebagai alat menyampaikan protes masyarakat.

Kalau kamu pecinta film korea dan pernah menonton 'Hope', kamu pasti setuju kalau film ini jadi salah satu yang paling menguras air mata. Mengisahkan tentang proses penyembuhan trauma seorang anak bernama Sowoon setelah mengalami pemerkosaan oleh laki-laki yang tak dikenal.

Yang lebih menyedihkan lagi, pembuatan film Hope diilhami oleh sebuah kisah nyata.

Tahun 2008 lalu di Korea Selatan, seorang gadis berumur delapan tahun yang disamarkan dengan nama Nayoung, diperkosa saat berangkat ke sekolah. Korban juga dipukuli dan ditinggalkan sendirian di sebuah toilet umum di pagi yang hujan. Setelah ditemukan, korban mengalami kerusakan organ dalam dan trauma hebat. Pelakunya seorang pria mabuk berumur 58 tahun.

Diberitakan oleh koreaexpose.com (11/12), setelah berbulan-bulan melalui proses hukum yang melelahkan, keluarga dikejutkan dengan hukuman tersangka. Hanya 12 tahun penjara.

Itu artinya bisa saja pelaku masih hidup saat waktunya dibebaskan dan menemukan lagi sang korban. Dalam wawancaranya dengan koran Joongan Ilbo, ayah korban mengatakan mereka nggak punya biaya untuk pindah tempat tinggal. Dia dan keluarganya cuman bisa mengandalkan Kementrian Hukum Korea yang sebelumnya berjanji untuk menahan tersangka sampai mati.

1 dari 1 halaman

Ilustrasi Film Hope

Berdasarkan data dari Kementrian Kesetaraan Gender dan Keluarga Korea, cuman setengah dari pelaku kekerasaan seksual anak yang mendapat hukuman penjara sesuai undang-undang. 61 persen tersangka dihukum seberat satu sampai lima tahun penjara sementara cuman 10 persen yang mendapat hukuman lebih dari sepuluh tahun.

Sisanya? Hukuman percobaan atau denda.

Mantan narapidana yang berkeliaran bisa saja mengulangi kejahatannya di kemudian hari. Padahal di Amerika Serikat, bekas narapidana kasus kejahatan seksual pada anak dilarang berada dalam jarak kurang dari 300 meter dari sekolah atau pusat kegiatan anak-anak. Sementara itu untuk kasus Nayoung ini, Menteri Kehakiman Korea Selatan masih belum bisa menentukan langkah selanjutnya sampai nanti si pelaku dibebaskan.

Kasus ini mendapat perhatian luas masyarakat dan menimbulkan teror baru, mengingat sang tersangka nyatanya tak merasa menyesal atas apa yang pernah dia lakukan.

Sebelumnya, di tahun 2005, Korea Selatan diguncang dengan kasus kekerasan seksual pada para siswa di sekolah tuna rungu Gwangju Inhwa School. Selama kurang lebih lima tahun, para pelaku yang terdiri dari enam guru termasuk kepala sekolah melakukan kekerasan seksual dan pemerkosaan pada para siswa.

Pihak kepolisian baru melakukan penyelidikan saat salah satu korban berbicara di sebuah stasiun TV. Sementara itu, salah satu pelaku mendapat hukuman hanya 12 tahun, 5 tahun lebih berat dibanding tuntutan jaksa.

Kisah ini diangkat menjadi film berjudul Silenced pada tahun 2013 lalu. Film ini dinilai menjadi potret perjuangan moral dalam mencari keadilan bagi para korban. Dilansir dari omonatheydidnt.livejournal.com (11/12), Silenced membuat kasus jadi dikenal luas dan mengarah pada peningkatan tuntutan yang lebih keras bagi para pelaku.

Protes masyarakat pada lemahnya hukuman bagi para tersangka juga pernah diangkat dalam salah satu episode serial drama Voice. Diceritakan, salah satu mantan narapidana yang bebas kembali mengunjungi korban dan hampir melakukan tindakan serupa pada saudara korban.

 

Beri Komentar