© Twitter.com/missfalasteenia
Konflik yang terjadi antara Palestina dan Israel kian memanas. Lebih dari 10.000 korban jiwa telah terbunuh dalam serangan Israel terhadap Palestina yang sudah berlangsung selama 31 hari sejak Sabtu (7/10/2023) lalu. Aksi kekerasan yang dilakukan Israel kini telah disebut sebagai kejahatan genosida yang telah melanggar hukum internasional. Serangan terus berlanjut tanpa adanya tanda-tanda gencatan senjata.
Dalam sebuah pernyataan wawancara pada Senin (6/10/2023), Kementerian Kesehatan Gaza menyatakan jika jumlah warga yang tewas akibat serangan genosida dari Israel telah meningkat sebanyak kurang lebih 10.022 korban. Berbagai masyarakat awam terus bertanya-tanya mengapa pihak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terlihat bungkam dalam menangani krisis yang terjadi antara Palestina dan Israel. Kabarnya badan dunia tersebut tidak dapat selalu melakukan intervensi pada suatu negara, ujar salah satu Kepala Perwakilan PBB untuk Indonesia yakni Valerie Julliand.
“PBB beranggotakan 193 negara. Apa yang kami lakukan sebagai perwakilan PBB dan mandat, tindakan kami ditentukan oleh negara-negara anggota. Ketika PBB tidak bisa melakukan intervensi, itu bukan karena staf PBB tidak mau, tetapi karena negara anggotanya tidak menyetujuinya,” ujar Julliand kepada wartawan di sela-sela acara Hari PBB di Jakarta, Selasa (24/10/2023).
PBB tidak dapat menyelesaikan tugasnya dalam konflik yang terjadi antara Israel dengan Palestina karena badan tertinggi dari PBB yakni Dewan Keamanan tidak memberikan kesepakatan pada resolusi yang memungkinkan intervensi agar bergerak lebih cepat dan efektif, meski dalam hal ini, tugas utama dari badan tinggi PBB harusnya bertanggung jawab dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional.
Dilansir dari Al Jazeera, PBB tidak dapat mendamaikan Israel dan Palestina karena terdapat perbedaan pandangan dan kepentingan politik antara negara anggota Dewan Keamanan.
Selain itu juga terdapat penghalang dalam mencapai kesepakatan bersama yakni konflik geopolitik dan adanya kepentingan nasional antar anggota.
Beberapa negara memiliki hubungan erat dengan negara Israel atau Palestina. Keberpihakan antar salah satu negara ini sangat mempengaruhi sikap mereka dalam menanggapi proses perdamaian.
Salah satu negara yang paling memihak Israel adalah Amerika Serikat (AS), negara tersebut menjadi salah satu anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang memiliki hak veto atas semua keputusan PBB. Sehingga mereka juga berhak untuk membatalkan atau bahkan menolak berbagai resolusi yang diajukan untuk berdamai.
Mereka mengatasnamakan hak veto untuk untuk menghalangi dukungan Dewan Keamanan terhadap Palestina. Argumentasi mereka lebih mengutamakan kekuatan diplomasi sendiri dalam meredakan situasi.
Faktanya pada beberapa tahun lalu tepatnya pada Resolusi 242 tahun 1967 dan Resolusi 1397 tahun 2002, Dewan Keamanan PBB telah menghasilkan sejumlah resolusi yang berkaitan dengan konflik Israel dan Palestina. Mereka menyerukan penghentian kekerasan untuk memulai perdamaian dengan mendirikan dua negara yang berdampingan dalam batas yang diakui.
Namun resolusi tersebut tidak berhasil mendamaikan konflik antar dua negara tersebut lantaran disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ada pihak yang tidak sepakat terhadap batas-batas negara Palestina yang dipengaruhi oleh hak veto dari Amerika Serikat.
Meskipun PBB berperan penting dalam melakukan negosiasi antara pihak-pihak yang terlibat, namun keputusan akhir tetap berada di tangan negara anggota dewan keamanan. Salah satunya Amerika yang memiliki pengaruh besar terhadap konflik tersebut.
Kabarnya AS telah mendesak 15 anggota dewan untuk mengutuk keras Palestina dengan alasan Hamas yang melakukan penyerangan lebih dulu. Namun tidak terlaksana, karena diplomat mengharapkan fokus yang lebih luas.
Amerika Serikat disebut sebagai dalang utama atau sekutu dari Israel, mereka sering menggunakan hak veto untuk memblokir resolusi Dewan Keamanan PBB yang hendak mendukung Palestina. Selain itu, ketegangan yang berkepanjangan dan masalah yang tak kunjung usai semakin menyulitkan perdamaian.
Termasuk sengketa perbatasan, penyelesaian pemukiman, status Yerusalem hingga perdebatan tentang hak rakyat Palestina yang menjadi sumber ketidaksepakatan.
Kesepakatan yang terus dibantah dan tidak setujui semakin menghambat kemajuan untuk mencapai perdamaian. Bahkan tiga organisasi hak asasi manusia dari Palestina mengungkapkan jika kelambanan PBB dalam mengatasi permasalahan konflik dapat memungkinkan timbulnya kekerasan baru.
Sementara itu, ratusan rudal dan bom telah menghancurkan sebagian besar pemukiman warga sipil di wilayah Gaza. Kekerasan ini juga semakin menyebabkan krisis kemanusiaan yang kian parah karena blokade dan keputusan Israel telah memutus berbagai sumber kehidupan warga mulai dari listrik, makanan, air dan pasokan lainnya di wilayah Gaza.
Meskipun ribuan bantuan kemanusiaan telah memasuki wilayah Gaza, PBB mengungkapkan jika jumlah itu masih jauh dari dari kata cukup.
Antonia Guterres selaku sekretaris jenderal PBB telah menyerukan gencatan senjata kemanusiaan di wilayah Gaza. Bahkan pada pertengahan Oktober lalu, Dewan Keamanan PBB mengadakan sidang darurat untuk membahas serangan Israel terhadap Gaza, sekaligus melakukan pemungutan suara terhadap rancangan resolusi perdamaian antara Israel dan Palestina.
Namun, lagi-lagi hak veto Amerika mendominasi suara hingga akhirnya Dewan Keamanan PBB gagal untuk menyepakati resolusi dan menyerukan gencatan senjata di Gaza.
Editor: An Nisa Maulidiyah