© Igant Erisza Maudyna
Igant Erisza Maudyna adalah seorang kepala sekolah sekaligus pengajar di Kelompok Bermain Al-Wardah, Peterongan, Jombang. Perempuan kelahiran 1996 yang setelah lulus SMA mengambil jurusan kebidanan di Poltekkes Kemenkes Malang ini, nyatanya berkecimpung di dunia pendidikan anak. Kalau dipikir-pikir, tentu sangat berlawanan bukan, antara jurusan Kebidanan dan Guru PAUD?
Namun, Igant adalah seorang perempuan yang tak asal membuat keputusan. Tentu ada alasan tersendiri mengapa pada akhirnya Igant memilih untuk banting stir dari seorang bidan menjadi guru PAUD. Bahkan, dirinya mengambil kuliah lagi di jurusan S1 Pendidikan Guru PAUD di Universitas Terbuka.
Sibuk dengan karir di bidang pendidikan anak yang sama sekali tak pernah ada dalam bayangannya, tak membuat Igant lupa untuk berkarya. Perempuan kelahiran Jombang ini sangat menyukai kegiatan menulis dan memiliki impian menjadi seorang penulis sejak kecil. Meskipun disibukkan dengan padatnya kegiatan perkuliahan sekaligus menjalankan tupoksinya sebagai kepala sekolah sekaligus pendidik di Kelompok Bermain, tak membuat Igant lupa untuk mengasah kemampuan menulisnya. Hal itu dibuktikan dengan keaktifannya dalam mengikuti berbagai macam perlombaan menulis online yang diadakan oleh penerbit indie.
Pada Oktober 2020 kemarin, dirinya sudah menerbitkan novel solo perdananya yang berjudul Paragraf Patah Hati. Selain telah menerbitkan novel perdana, di usianya yang menginjak 24 tahun ini, Igant telah mendapatkan dua gelar sarjana di bidang yang berbeda. Penasaran, bukan, bagaimana Igant Erisza Maudyna S.Tr.Keb, S.Pd yang melakoni kesibukan sebagai pendidik, kepala sekolah, dan penulis novel ini bisa menjadi dirinya yang sekarang? Yuk, simak profil lengkap Igant Erisza Maudyna berikut ini.
Igant adalah tipe anak yang penurut, patuh sekali terhadap orang tua. Ketika dirinya lulus dari SMA, ayahnya menginginkan Igant menjadi seorang bidan. Hingga akhirnya, Igant pun memenuhi keinginan ayahnya tersebut dan berjuang menjalani 4 tahun perkuliahan di kampus Poltekkes Kemenkes Malang.
“ Jadi, di tahun 2013 itu, habis lulus SMA, aku langsung daftar di Poltekkes Malang. Cuma aku ambil prodi D4 Kebidanan yang ada di kampus cabangnya yang di Kediri. Sebenernya, passionku emang di sastra, dari kecil emang selalu pengen jadi penulis. Cuma, ya, itu, aku tipe orang yang ‘manut’ banget sama orangtua. Singkat cerita, waktu itu bapak pengin punya anak bidan. Yah, walaupun aku nggak ada gambaran apa-apa sama jurusan itu, ya udah lah, ngak apa-apa dicoba aja,” ujarnya.
Setelah mendapatkan ijazah bidan, Igant harus menjalani beberapa tahap lagi agar mendapatkan surat keterangan yang menyatakan bahwa dirinya berkompeten sebagai seorang bidan untuk turun ke lapangan, yang diperoleh setelah mengikuti ujian. Setelah itu, sambil menunggu surat itu keluar, Igant berencana mencari pengalaman dengan memasukkan lamaran untuk bisa praktik di bidan swasta atau puskesmas. Namun ternyata setelah lulus, sang Ayah langsung meminta Igant untuk langsung mengajar di yayasan PAUD yang memang dimiliki oleh keluarga besarnya.
“ Jadi, pas aku lulus tuh langsung dibilangin ‘Kamu nggak usah nerusin di bidan lagi. Ngajar aja di PAUD, siapa lagi yang bakalan nerusin yayasan kalau bukan kamu’, gitu. Ya shock dong aku. Kayak, nggak mungkin lah, aku kuliah 4 tahun susah-susah, masa harus terjun di dunia pendidikan yang aku sendiri nggak ada basic-nya.”
Awalnya, Igant sempat menolak dan beralasan bahwa pendidikan bidan yang sudah ditempuhnya selama 4 tahun akan sia-sia jika dirinya terjun di PAUD. Namun, karena ia tidak berani membantah sang ayah, ia pun terpaksa menurut dan mencoba untuk mengajar anak-anak. Namun, Igant mempunyai syarat kepada ayahnya bahwa dirinya bersedia terjun di PAUD, asalkan dia harus kuliah lagi di Pendidikan Guru PAUD sebagai bekalnya mengajar. Meskipun awalnya terasa berat, karena di masa training pertamanya, ia diberi tanggung jawab sebagai guru shadow anak hiperaktif, namun lama-lama ia betah juga.
“ Ya udah, aku coba terjun dulu di PAUD itu,” katanya. “ Aku mau lanjut di PAUD, tapi ya syaratnya harus kuliah lagi (PG-PAUD). Soalnya ya percuma aku ngajar di PAUD tapi nggak punya ilmu basic-nya sama sekali.”
Karena harus mengajar di PAUD, maka tentu saja seorang Igant harus memiliki kecintaan terhadap anak-anak. Awalnya, Igant adalah orang yang biasa saja terhadap anak-anak. Ia baru menyukai anak-anak saat duduk di bangku kuliah kebidanan ketika mulai banyak menjalani praktik lapangan yang mengharuskan ia berinteraksi dengan anak-anak.
“ Dulu, tuh, aku biasa aja sama anak-anak. Baru suka anak kecil pas aku kuliah bidan itu. Kalau nggak salah pas semester tiga itu kan sering praktik di posyandu, nah mulai dari itu jadi suka banget sama anak-anak.”
Setelah lulus dari Kebidanan, Igant pun mengajar di PAUD Al-Wardah, sekaligus menjabat sebagai kepala sekolah di Kelompok Bermain yang ada di yayasan tersebut. Namun, ternyata ia menjalani itu semua sambil kuliah Pendidikan Guru PAUD khusus pendidik, yang hanya dilaksanakan pada hari Sabtu dan Minggu. Pertanyaannya, gimana, ya, dia menjalaninya? Apakah tidak berat?
“ Beratnya, ya, mungkin ketika aku harus ngerjain laporan bantuan operasional lembaga (akhir tahun) dan harus kuliah besoknya. Kuliahnya emang cuma pas weekend doang, Sabtu sama Minggu,” katanya. “ Jadi, Sabtu paginya itu aku masih ngajar, terus siangnya harus langsung kuliah. Minggu pagi yang harusnya libur, nggak bisa libur karena kuliah pagi. Gitu, sih, jadi jarang punya waktu libur.”
Ketika kita memiliki keinginan, pasti ada alasan di baliknya. Seperti halnya Igant, pasti ada alasan dan awal mula kenapa dirinya juga terjun ke dunia tulis-menulis. Ternyata, hal ini bermula saat dirinya duduk di bangku 5 SD, dan selanjutnya mulai aktif di berbagai kegiatan menulis, bahkan sampai kuliah.
“ Sebenarnya dari dulu aku suka nulis, dari kelas 5 SD, tuh, suka nulis di buku yang kertasnya tipis banget itu, loh. Pas SMP, aku mulai aktif nulis mading dan ikut ekstrakurikuler Jurnalistik. Baru deh pas SMA, aku berani ngirimin puisi ke lomba online, dan itu pertama kalinya aku lolos dan punya buku antologi puisi sendiri pas kelas 3 SMA.”
Ternyata menjalani hobinya menulis fiksi tak semulus itu perjalanannya. Saat masih SMA, Ayah Igant sempat menentang hobinya. Daripada menulis cerpen atau semacamnya, beliau mengatakan bahwa lebih baik waktunya digunakan untuk belajar. Namun, Igant tak patah semangat meskipun sempat kecewa. Menurutnya, selagi tak merugikan orang lain, hobi menulisnya akan terus ia lakukan. Ia membuktikan bahwa akademis dan hobi adalah dua hal yang berbeda, dan sama-sama penting.
“ Tapi, aku nggak nyerah. Aku, tuh, sukanya nulis, terus kenapa? Aku ngebuktiin kalau hobi sama akademis itu dua hal yang berbeda. Di samping suka nulis, alhamdulilah di sekolah aku masih masuk 10 besar. Jadi (nulis) nggak berpengaruh sama sekali.”
Tekun menjalani hobi menulisnya, membawa Igant pada satu titik di mana ia akhirnya menerbitkan karya sendiri. Buku antologi puisi yang berjudul ‘Seporsi Senja’ ia tulis bersama dua rekannya pada tahun 2018, dan di tahun 2020 ini, ia meluncurkan novel tunggalnya yang berjudul ‘Paragraf Patah Hati’. Tentu, ada cerita gimana dua karya tersebut bisa lahir, bukan?
Untuk Seporsi Senja, hal ini berawal ketika Igant membuat akun Instagram yang berfokus pada konten puisi yang bernama @seporsisenja dengan dua sahabat kuliahnya selama di Kebidanan. Meskipun Igant sudah sering ikut lomba puisi yang menjadikannya memiliki buku hasil karya cetak sebagai kontributor, namun salah satu temannya itu ada yang sama sekali belum pernah memiliki karya yang diterbitkan. Akhirnya, kumpulan puisi di akun Instagram @seporsisenja itu pun diterbitkan dalam bentuk cetak.
“ Aku nawarin ke mereka, gimana kalau kita bikin buku bareng aja? Gitu. Mereka excited, karena emang pengin banget punya buku. Ya udah, akhirnya mereka mau.”
Untuk Paragraf Patah Hati, Igant mengatakan bahwa keinginannya untuk menulis novel tersebut adalah resolusinya yang terus berulang tiap tahun, namun resolusi itu tidak pernah tercapai karena draft novel yang tidak pernah selesai. Namun di tahun 2020 ini, Igant bisa menyelesaikan novel tersebut karena adanya pandemi COVID-19 yang mengharuskannya #dirumahaja dan memiliki banyak waktu luang.
“ Ya di rumah aja, kan, berbulan-bulan. Kapan lagi, nih, nggak ada waktu lagi. Masa tambah tua, nggak ada pencapaian apa-apa, sih? Kesel sendiri aku.” katanya.
Awalnya, naskah Paragraf Patah Hati ia ikut sertakan dalam event lomba menulis novel yang diadakan oleh penerbit Ellunar. Namun karena tidak lolos, akhirnya Igant terus memperbaikinya hingga akhirnya memutuskan untuk menerbitkannya sendiri.
“ Itu draft lama yang aku perbaiki lagi, karena kalau nggak lolos berarti belum layak, gitu kan. Akhirnya aku rombak total dan kuterbitin sendiri di penerbit indie.”
Ternyata, novel Igant yang berjudul Paragraf Patah Hati ini bukanlah murni karangan fiksi. Di dalamnya, terdapat kisah nyata yang pernah dialami sendiri oleh Igant. Patah hati yang dialaminya dahulu, ia tuangkan dalam karya berbentuk novel. Sebab, patah hatinya ini adalah kisah yang tak akan pernah ia lupakan seumur hidup.
“ Cerita di balik itu, sebenernya ada sih. Sedikit kisah nyata juga,” ucap Igant. “ Jadi, ada sebagian kehidupan nyata yang dituangkan ke dalam novel ini, gitu. Kalau aku nggak pernah patah hati, mungkin novel ini nggak akan lahir.”
“ Iya, bener, bener. Jadi, dari dulu patah hatiii, mulu, ya ampun. Terus kupikir-pikir, patah hatiku pas jaman sekolah jadi salah satu hal yang nggak terlupakan seumur hidup. Karena memang konfliknya itu kompleks banget.”
Olah karena itu, Igant pun setuju dengan anggapan bahwa ketika kamu patah hati, jangan sia-siakan begitu saja. Tuliskan cerita patah hatimu dan jadikan karya. Bahkan, kalau bisa jadikan sebagai pendapatan alias uang, katanya.
“ Patah hati jadi royalti. Iya lah, lumayan jadi duit.”
Ada satu quote yang dipegang Igant sampai sekarang:
" Let Your Dream Guide Your Step to Move Forward"
Igant Erisza Maudyna
Maksud Igant adalah untuk bisa melangkah maju, kita harus punya mimpi. Jika kita keras kepala untuk mewujudkan impian, maka pasti suatu saat akan tercapai selama kita nggak pernah menyerah.
“ Jadi, menurutku, kita harus punya impian, agar kita bisa maju ke depan. Soalnya, aku tuh ngerasain banget, ketika kita punya mimpi dan keras kepala untuk mewujudkannya, hal itu pasti bakalan tercapai, selama kita nggak nyerah. Begitu.”
Igant sebagai tenaga pendidik, berharap ke depannya bisa melanjutkan pendidikan di jenjang S2. Dia ingin menjadi pendidik yang berkualitas, bisa mengubah sistem pembelajaran anak usia dini yang menurutnya perlu di ubah. Di samping itu, dia juga berencana menerbitkan sekuel alias novel kedua dari novel pertamanya, Paragraf Patah Hati, lho!
" Udah punya tujuan, sih, aku pengin lanjut kuliah S2 biar bisa jadi orang yang berkompeten di bidang managerial kepala sekolah, sekaligus jadi pendidik yang berkualitas. Selain itu, aku tuh pengin membuat program pendidikan yang bener-bener cocok sama anak usia dini, gitu. Aku pengin mengubah beberapa hal yang menurut aku belum sesuai. Untuk selanjutnya, hm ya, apa kata nanti lah.
" Nulis ini (Paragraf Patah Hati), ada sekuelnya. Soalnya kan novel yang pertama kemarin awalnya terlalu panjang, kan. Nah yang kemarin belum selesai, lanjutannya ada di novel kedua, gitu," katanya. " Rencanaya sih, gini. Novel pertama kutulis sebelum aku nikah, terus novel kedua kutulis setelah aku nikah. Gitu, hehehe."
Wah, menginspirasi ya sosok Igant ini. Meski diterpa berbagai kesibukan dalam menjalani karirnya, dirinya juga tak lupa terhadap impiannya menjadi penulis dan meluncurkan novel pertamanya yang berjudul Paragraf Patah Hati.
adi, sesekali kita memang harus keras kepala terhadap impian kita sendiri, ya, gaes!