© 2020 © KapanLagi.com/Bayu Herdianto
Sapardi Djoko Damono, salah seorang sastrawan terbaik Indonesia pergi selepas menyaksikan hujan di bulan Juni. Sapardi meninggal pada Minggu (19/7) setelah menjalani perawatan intensif di rumah Eka Hospital, Tangerang, Banten.
Kepergiannya Sapardi Djoko Damono menyisakan duka mendalam bagi para pecinta sastra. Hingga Senin pagi (20/7), berita tentang kepergian penulis 'Aku Ingin' tersebut masih ramai dalam mesin pencarian berita.
Sapardi Joko Damono adalah seorang penyair yang dikenal lewat berbagai puisi dengan kata-kata yang sederhana. Sapardi lahir dari pasangan Sadyoko dan Sapariah, anak sulung dari dua bersaudara.
Sapardi lahir pada Rabu, 20 Maret 1940. Menurut kalender Jawa, tanggal tersebut jatuh pada bulan Sapar. Munmgkin itulah awal dari nama Sapradi.
Kecintaannya pada tulisan dimulai sejak bangku sekolah. Saat masih di sekolah menengah, karyanya sering dimuat di berbagai majalah. Untuk meneruskan kesukaannya pada bidang ini, dia mengambil jurusan Sastra Barat Fakultas Sastra dan Kebudayaan di UGM. Pernah pula belajar kajian kemanusiaan di University of Hawaii, Amerika Serikat. Di tahun 1989, gelar doktor diraihnya dari Universitas Indonesia dengan predikat sangat memuaskan.
Tak hanya menulis, Sapardi Djoko Damono juga menggeluti tari, bermain gitar, dan bermain drama. Pria yang akrab disapa SDD itu juga menerjemahkan karya penulis asing, esai, dan sejumalh artikel di surat kabar. Sapardi juga menguasai permainan wayang karena sang kakek yang merupakan seorang abdi dalam, juga bekerja sebagai dalang.
Sapardi Djoko Damono aktif di berbagai lembaga seni dan sastra di tahun 1970 hingga 1980-an. Sejak tahun 1974, beliau mengajar di Fakultas Sastra Univeritas Indonesia dan pernah menjabat sebagai dekan FIB UI periode 1995 - 1999 serta menjadi guru besar.
Di masa itu, Sapardi Djoko Damono juga menjadi redaktur majalah Horison, Basis, dan Kalam.
Tak terhitung banyaknya penghargaan yang dia terima baik di dalam maupun luar negeri. Di taun 1986 misalnya, dia dianugerahi SEA Write Award dari Thailand. Di tahun 2033. Sapardi Djoko Damono meneriman penghargaan Achmad Bakrie Award for Literature, Khatulistiwa Award di 2004 dan penghargaan dari Akademi Jakarta pada 2012.
Sapardi Djoko Damono memberikan jasa yang besar bagi sastra Indonesia dengan merintis dan memprakarsai Himpunan Sarjana Kesustraan Indonesia (Hiski), setiap tahun dewasa ini ada penyelenggaraan seminar dan pertemuan para sarjana sastra yang terhimpun di dalam organisasi tersebu
Tak cuman dikenal oleh penikmat sastra Tanah Air, nama Sparadi Djoko Damono juga dikenal hingga keluar negeri.
'Aku Ingin' adalah satu puisi karya Sapardi Djoko Damono yang paling terkenal. Dia selalu menggunakan kata sederhana penuh makna. Kamu pasti pernah mendengarnya, kan?
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Yang fana adalah waktu. Kita abadi
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa
“ Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu
Kita abadi
Kuhentikan hujan
Kini matahari merindukanku, mengangkat kabut pagi perlahan
Ada yang berdenyut dalam diriku
Menembus tanah basah
Dendam yang dihamilkan hujan
Dan cahaya matahari
Tak bisa kutolak
Matahari memaksaku menciptakan bunga-bunga
Pada suatu hari nanti
Jasadku tak akan ada lagi
Tapi dalam bait-bait sajak ini
Kau tak akan kurelakan sendiri
Pada suatu hari nanti
Suaraku tak terdengar lagi
Tapi di antara larik-larik sajak ini
Kau akan tetap kusiasati
Pada suatu hari nanti
Impianku pun tak dikenal lagi
Namun di sela-sela huruf sajak ini
Kau tak akan letih-letihnya kucari
Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Selain puisi, Sapardi Djoko Damono menulis novel antara lain
Sapardi Djoko Damono juga menulis buku sebagai literatur sasta, antara lain:
Pernah mendengar tentang novel berjudul Lelai Tua dan Laut? Novel tersebut diterjemahkan oleh Sapardi. Selain itu, dia juga meng-alihbahasakan karya luar negeri diantaanya:
Daisy Manis Daisy Manis (Daisy Milles, Henry James), Puisi Brasilia Modern, George Siferis, Sepilihan Sajak, Puisi Cina Klasik, Puisi Klasik, Shakuntala, dan masih banyak lainnya.
Puisi 'Aku Ingin' yang ditulis oleh Sapardi adalah larik-larik yang mungkin paling sering didengar dari karya sastra Indonesia.
" Aku ingin mencintaimu dengan sederhana Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu..."
Kata-kata puitis ini tercantum dalam kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono bertajuk Hujan Bulan Juni yang terbit tahun 1994.
Dan saat tampil sebagai salah satu pembicara dalam sebuah program di ASEAN Literary Festival 2016, Sapardi Sjoko Damono sempat bercerita tentang makna di balik puisi 'Aku Ingin' tersebut. Dikutip dari Liputan6, Saat itu Najwa Shihab selaku moderator bertanya maksud lain dari puisi tersebut, karena banyak sekali interpretasi orang tentang kalimat terkenal tersebut.
Sapardi Djoko Damono berujar kalau seharusnya puisidihidupkan oleh interpretasi masing-masing pembacanya.
" Ya tentu memang puisi itu hidup lewat interpretasi masing-masing. Kalau cuma satu ya sudah, sekali bisa habis," jawabnya.
" Sebelum sempat menyampaikan cintanya, sudah jadi abu. Jadi enggak sampai," kata Sapardi Djoko Damono.
" Loh jadi enggak sampai? Ternyata cinta tak sampai loh ini," sahut Najwa Shihab.
Sapardi Djoko Damono langsung membalas, " Bukan, cinta beneran, itu cinta beneran."
Dan tahu nggak siha kalau puisi 'Aku Ingin' tersebut hanya dibuat dalam waktu 15 menit saja.
Kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono telah dialihbahasakan ke dalam 4 bahasa asing, yakni Inggris, Jepang, Arab dan juga Mandarin. Nggak cuman kumpulan puisi, dia juga menulsi novel yang diadaptasi dari puisi dengan judul yang sama.
Puisi Hujan Bulan Juni ditulis bukan karena hujan yang jatuh di bulan tersebut, melainkan saat bapak dua ornag anak itu melihat telaga Situ Gintung, Ciputat, Tangerang Selatan. Saat itu dia sedang berada d ruang kerja di perumahan dosen.
Sedangkan novel Hujan Bulan Juni adalah karya pertamanya yang dibuat berdasarkan tafsiran puisi. Novel setebal 144 halaman itu menceritakan kisah Sarwono dan Pingkan. Keindahan Hujan Bulan Juni kemudian diadaptasi mejadi lagu, komik, bahkan sebuah film.
Sapardi Djoko Damono meninggal pada Minggu, 19 Juli 2020 setelah menjalani perawatan intensif selama 10 hari. Sapardi dinyatakan meninggal karena penurunan fungsi organ.
Salah seorang perwakilan keluarga mengatakan kepada awak media bahwa Sapardi memiliki penyakit yang menyebabkan komplikasi ke organ lainnya.
Sapardi Djoko Damono tutup usia di 80 tahun. Keluarga berencana memakamkan Sapardi di Taman Pemakaman Giritama, Giritanjong Bogor Jawa Barat. Tak sedikit penulis ternama Indonesia yang merasakan kesedihan mendalam dan menumpahkan rasa kehilangan mereka di sosial media.
Selamat jalan Sapardi Djoko Damono. Kali ini hujan jatuh di bulan Juli..