© 2020 Https://www.diadona.id/Istimewa
Peringatan Hari Pahlawan yang jatuh tiap tanggal 10 November, seperti hari ini.
Biasanya anak-anak sekolah turun ke jalan untuk menggelar karnaval kecil-kecilan untuk menampilkan pakaian adat Indonesia. Ada juga yang memperagakan kesenian seperti bermain drumb band dan lain-lain. Namun, pada Hari Kartini tahun ini peringatan itu dihapus. Hal tersebut tidak lepas untuk menghindari penyebaran Virus Corona yang berbahaya.
Seperti yang sudah diketahui banyak orang, Raden Ajeng Kartini adalah pahlawan nasional yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Melalui pemikiran yang ia tulis dalam tulisannya, Kartini banyak membahas tentang perjuangan perempuan untuk kebebasan, kesetaraan hukum, dan pendidikan yang layak.
Nyatanya, perjuangannya dalam "membebaskan" perempuan Indonesia masih dikenang hingga saat ini. WR. Bahkan Supratmat menggubah lagu khusus untuk mengenang perempuan tersebut dan masih dilestarikan hingga sekarang.
Berikut beberapa potongan cerita untuk mengenang perjuangan RA Kartini.
RA Kartini lahir di Jepara pada tanggal 21 April 1879. Ia berasal dari keluarga kelas priyayi Jawa. Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, adalah Bupati Jepara. Sedangkan ibunya, M.A Ngasirah, berasal dari keluarga dengan nilai-nilai agama yang kuat.
Pada usia 12 tahun, Kartini mengenyam pendidikan di Europese Lagere School (ELS). Di sekolah inilah Kartini mulai belajar bahasa Belanda. Saat bersekolah di ELS, Kartini mulai tertarik dengan kemajuan pemikiran perempuan Belanda. Dari situlah muncul niatnya untuk memajukan perempuan adat yang menurutnya berstatus rendah.
Sebelum berusia 20 tahun, Kartini banyak membaca dan menulis untuk surat kabar berbahasa Belanda. Ia juga suka menulis surat dengan teman-teman korespondennya di Belanda. Perhatian Kartini tidak hanya pada emansipasi perempuan, tetapi juga masalah sosial umum lainnya.
Pada usia 24 tahun, Kartini menikah dengan Bupati Rembang, K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Suaminya mendukung perjuangan Kartini untuk mendirikan sekolah perempuan di kota Rembang.
Namun perjuangan Kartini harus segera berakhir. Dia meninggal pada 17 September 1904, empat tahun setelah melahirkan anak pertamanya.
Setiap tanggal lahirnya kini diperingati sebagai Hari Kartini yang melambangkan kebangkitan perempuan Indonesia.
RA Kartini pada masa lalu ternyata mengenyam pendidikan di pesantren. Semasa remaja, Kartini disuruh mengaji di pesantren milik KH Sholeh Darat di Demak.
Dilansir dari Merdeka.com, semasa masih mahasiswa Kartini kerap memprotes ajaran gurunya. Salah satu protesnya, Kartini meminta guru ngaji menerjemahkan Al-Qiran ke dalam bahasa Jawa. Karena tak henti-hentinya memprotes Sang Kiayi, Kartini akhirnya dibawa oleh Kiayi Soleh Darat untuk belajar mengaji dari ulama besar lainnya di Demak.
Saat mempelajari Alquran dari ulama Demak, Kartini juga memperdebatkan mengapa poligami diperbolehkan dalam Islam. Setelah mendapat penjelasan dari kiai Demak, Kartini mengalah dan kemudian berhenti menjadi santri.
Selain itu, Kartini juga pernah memperdebatkan mengapa wanita yang sedang menstruasi dilarang melaksanakan shalat, puasa, dan bentuk ibadah lainnya dalam Islam. Kartini dianggap mahasiswa yang menonjol dan kritis oleh Kiayi Sholeh Darat saat itu, kata Muhammad Sahid, juru kunci makam RA Kartini dikutip dari Merdeka.com, Selasa (10/11/2020).
Sekolah Kartini atau bisa juga disebut Sekolah Kartini adalah sekolah khusus putri yang tergabung dalam Yayasan van Deventer. Sekolah ini didirikan sebagai bentuk kekaguman Conrad Theodore van Deventer, seorang tokoh politik etis yang juga ahli hukum Belanda, terhadap Kartini. Sekolah ini pertama kali didirikan di Semarang pada tahun 1912.
Selanjutnya didirikan Sekolah Kartini di beberapa kota besar di Jawa antara lain di Surabaya, Yogyakarta, Madiun, Malang, Cirebon, Bogor, dan beberapa daerah lainnya.
Uang untuk pendirian Sekolah Kartini diperoleh dari hasil penjualan sekumpulan surat terbitan teman-teman Belanda-nya.
Buku yang berisi kumpulan surat itu kemudian diberi nama Door Duisternis Tot Licht (Keluar dari Gelap, Terang). Buku itu sukses besar di kalangan masyarakat Belanda dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, Inggris, Indonesia, Sunda, dan Jawa.