© Iwm.org.uk
Hari Pahlawan atau yang dikenal sebagai hari Peringatan 10 November 1945 merupakan masa kelam sekaligus peristiwa heroik bagi segenap rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan empat bulan sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pertempuran 10 November ini bertempat di Surabaya yang melibatkan tentara sekutu Inggris dengan para pahlawan pejuang di Surabaya.
Perang ini telah menewaskan 20.000 rakyat Surabaya, 150.000 orang yang terpaksa meninggalkan Surabaya dan 1.600 orang prajurit inggris tewas, hilang, dan luka-luka.
Usai kekalahan pihak Jepang menyatakan kekalahannya pada Agustus 1945, timbullah pertempuran-pertempuran dari perlawanan rakyat Indonesia di berbagai daerah. Hal ini mendorong pasukan Inggris mendarat di Jakarta dan Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945.
Awalnya, tugas tentara Inggris adalah melucuti senjata tentara Kepang dan melepaskan tawanan yang ditahan Jepang. Lalu, mengubah administrasi Indonesia menjadi Pemerintahan sipil Hindia Belanda sebagai negeri jajahan kolonial Belanda yang disebut NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Usai muncul maklumat resmi pemerintah Indonesia pada 31 Agustus 1945, bendera Indonesia pun mulai dikibarkan di seluruhd daerah, khususnya meriah dan luas di pelosok kota Surabaya.
Tanpa alasan yang jelas, sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman tiba-tiba mengibarkan bendera Belanda tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya di Hotel Yamato.
Hal itu membuat pemuda Surabaya menjadi marah karena menghina kedaulatan Indonesia. Setelah diajak berunding oleh perwakilan Indonesia, Sidik dan Hariyono bertemu dengan perwakilan Belanda Mr. Ploegman. Sayangnya pihak Belanda menolak menurunkan bendera sambil menodongkan senjata pada Sidik dan Hariyono.
Perundingan itu punberujung pada tewasnya Ploegman setelah dicekik oleh Sidik dan sikap berani Koesno Wibowo yang berhasil menurunkan Bendera Belanda dengan merobek bagian birunya.
Usai insiden Hotel Yamato tersebut, Inggris yang semula hanya membersihkan sisa kolonial Jepang mulai berubah melakukan penyerangan terhadap rakyat Indonesia.
Awalnya, Indonesia dan Inggris sepakat menandatangani gencatan senjata. Sayangnya hal tersebut tidak berhasil karena opresi tentara Inggris yang masih berusaha menjajah rakyat khususnya di Surabaya. Hingga puncaknya, Brigadir Jenderal Malllaby.
Tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby karena terpanggang di dalam mobil yang ditumpanginya, hal tersebut diduga akibat lemparan granat saat melintasi gedung Internatio.
Kala itu, Komandan Angkatan Perang Inggris di Indonesia, Jenderal Christison mengatakan Mallaby dibunuh secara kejam. Karenanya, ia ingin menuntut balas terhadap rakyat Indonesia, khususnya Surabaya.
Mendengar ancaman Inggris, Pucuk Pimpinan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI), Sutomo atau Bung Tomo menegaskan ia dan rakyat Indonesia tidak takut dengan ancaman Christison yang menyatakan perang balas dendam.
Bung Tomo mengatakan ancaman Christison merupakan tipu muslihat licik untuk menggoyahkan rakyat Indonesia yang baru saja merdeka empat bulan sebelumnya. Christison disebut sengaja menurunkan kekuatan militer untuk menguasai Surabaya meski proklamasi baru saja diucapkan.
Tewasnya Mallaby dikhawatirkan Bung Tomo hanya sebagai alibi Inggris yang diperalat Belanda untuk kembali menguasai Indonesia.
Kekhawatiran tersebut rupanya benar adanya, pihak Belanda melalui Inggris mengultimatum pemerintah Indonesia yang baru saja terbentuk untuk menyerahkan diri dengan meletakkan senjata dan mengangkat tangan.
Inggris menyebarkan selebaran kertas untuk ditujukan kepada pemerintah Indonesia, polisi, kepala Radio, dan rakyat Indonesia untuk menyerahkan diri ke Bataviaweg atau Jalan Batavia pada 9 November 1945.
Merasa hal ini sebuah penghinaan, BPRI memberikan pelatihan kilat perang gerilya kepada para rakyat Surabaya mulai dari tata cara menggunakan senjata hasil rampasan Nippon dan taktik menyerang.
Usai pelatihan dirasa cukup, tentara kilat tersebut secara bergantian mengajari teman dan rakyat Surabaya lainnya untuk bersiap melakukan pertempuran dengan keahlian seadanya, karenanya mereka inilah yang disebut sebagai " Pasukan Berani Mati" .
Tak cuma rakyat Surabaya, ada juga pejuang dari Sumatera, Kalimantan, hingga berbagai suku di Indonesia mulai dari anak-anak, pemuda, pria dan wanita hingga orang tua terjun ikut berjuang di medan perang.
Dalam situasi yang semakin memanas tersebut, Gubernur Jawa Timur, Suryo meminta rakyat Surabaya untuk bersabar dan menunggu keputusan pemerintah pusat Jakarta. Namun, pemerintah pusat justru menyerahkan keputusan untuk diambil pemerintah daerah dan rakyat. Karenanya, Gubernur Suryo meminta rakyat mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan dan melawan penjajah tanpa ampun.
Pagi harinya, 10 November 1945 pukul 09.00 WIB terdengar pemuda yang melaporkan adanya penembakan oleh Inggris yang membuat rakyat yang telah menunggu pun langsung menyerbu balik pasukan Inggris.
Peristiwa tumpahan darah itu pun terjadi, segala kalangan rakyat dari semua golongan agama dan suku saling gotong royong mempertahakan kemerdekaan Indonesia, membabat kawanan tentara Inggris yang merupakan perwakilan dendam Belanda kala itu.
Tewasnya ribuan rakyat Surabaya menjadi saksi peristiwa 10 November menjadikan seluruh bangsa Indonesia sebagai pahlawan berani mati demi mempertahakan kemerdekaan yang baru saja diraih. Sekali lagi, rakyat tak ingin dijajah kedua kalinya kala proklamasi baru saja menjadi berita yang menggembirakan.
Tak ayal, 10 November jadi hari yang paling istimewa untuk dirayakan bersama. 10 November kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan dalam keputusan Presiden no. 316 tahun 1959.