© Raisingchildren.net.au
Dunia pendidikan Indonesia dihebohkan oleh kasus bully yang terjadi di SMPN 16 Kota Malang. Seorang siswa SMP dikabarkan menderita bully dan mendapat beberapa luka fisik. Bahkan jari tengah anak tersebut konon terancam diamputasi karena bully yang dideritanya.
2beer! dan terjadi lagi, pembullyan di lingkungan sekolah, diselesaikan jalur damai, tidak ada hukuman kpd para pelaku, dan yg bikin miris kepsek nya bilang "ini bukan penganiayaan, hanya bercanda" pic.twitter.com/geNlXj3U6M
— Tubi rrr fess fess (@tubirfess) February 2, 2020
Patah hati adalah respon yang umum dirasakan orang tua, baik saat anak menjadi korban maupun menjadi pelaku. Hanya saja, saat anak menjadi korban rasa patah hati akan disusul perasaan marah. Sementara saat anak menjadi pelaku, patah hati akan disusul rasa malu. Nggak ada yang lebih baik.
Mengatasi anak yang menjadi korban bully adalah satu hal, namun mengatasi anak ketika dia yang menjadi pembully adalah hal lain.
Pembahasan tentang bagaimana mengatasi anak yang menjadi pelaku bully kurang umum diketahui, padahal justru inilah yang menjadi hulu dari segala masalah pembullyan. Bahkan mungkin kita nggak perlu mengatasi anak korban bully kalau penanganan terhadap pelaku dilakukan dengan tepat.
Perlu diketahui di awal bahwa anak yang menjadi pelaku bully di usia dini nggak bisa serta merta dicap sebagai 'anak nakal'.
" Anak-anak di usia dini seringkali melakukan sesuatu yang nggak merefleksikan dirinya karena masih berada di tahap pencarian. Satu waktu mereka bisa menjadi anak baik, di waktu lain mereka bisa terlihat nakal karena satu kesalahan," jelas Dr. Jamie Howard, kepala Stress and Resilience Program di Child Mind Institute.
Howard menjelaskan ada beberapa alasan yang memancing anak melakukan tindakan bully. Misal, karena anak ingin mencapai posisi tertentu di lingkup pertemanannya. Atau bisa jadi si anak juga mengalami bullying yang sama di rumah sehingga dia mencari tempat lain untuk menunjukkan power.
Perhatian juga sering menjadi salah satu alasan terbanyak yang mendorong anak memiliki perilaku bully. Hal ini biasa terjadi pada anak yang kurang atau merasa kurang mendapat perhatian dari banyak pihak. Dengan membully, ia bisa dapat segala perhatian yang diinginkan. Konsekuensi nggak akan terpikirkan karena cara berpikir yang belum mencapai tahap tersebut.
Bangun komunikasi yang baik, nggak cuma dengan anak, tapi juga dengan guru di sekolah sangat penting untuk dilakukan.
Salah satu kesalahan yang umum dilakukan orang tua adalah denial saat mendapat laporan buruk tentang anak dari pihak sekolah. Ketimbang menanyakan kebenarannya pada anak, nggak sedikit orang tua yang memilih untuk tersinggung pada laporan pihak sekolah.
Tindakan seperti ini nggak baik karena anak akan merasa selalu ada kita--orang tuanya--yang akan membela, nggak peduli baik atau buruk perbuatannya. Hal ini hanya akan melanggengkan proses bullying yang dilakukan oleh anak.
Hal terbaik yang bisa dilakukan saat mendapat laporan bahwa anak menjadi pelaku bullying adalah menanyakan kebenaran kabar tersebut pada anak. " Apa benar kamu di sekolah melakukan hal itu?" .
Minta keterangan sejelas-jelasnya dari anak. Biarkan dia tau kalau perbuatannya itu nggak baik dan harus diselesaikan sesegera mungkin. Minta juga keterangan tentang apa yang dirasakannya dan tawarkan bantuan yang bisa dilakukan. Posisikan dirimu sebagai tempat yang paling nyaman untuk anak menceritakan keluh kesahnya.
" Berbincang dengan anak adalah cara paling efektif untuk mengurai permasalahan bully. Dari perbincangan itu kamu akan tau, apakah permasalahan tersebut bisa diselesaikan sendiri atau perlu bantuan ahli," tutur Howard.
Nggak ada orang tua yang ingin anaknya tumbuh menjadi seorang penindas. Praktik bully di sekolah, kalau nggak dihentikan sesegera mungkin, bisa menjadi bibit atas tindakan menindas itu. Oleh karenanya, luangkan waktu. Dengarkan anakmu. Selesaikan masalah bersama. Jangan biarkan dia tersesat terlalu lama.