© Unsplash.com/Annie Spratt
Oh ibu dan ayah selamat pagi
Ku pergi sekolah sampai kan nanti
Apa visual yang muncul di kepalamu waktu membaca potongan lirik lagu 'Pergi Belajar' di atas?
Sebagian besar dari kita mungkin membayangkan adegan yang memperlihatkan seorang anak sedang berpamitan pada kedua orang tuanya dengan mengenakan seragam sekolah lengkap dan memanggul tas. Gambaran yang akurat pada masanya, tapi agak meleset kalau kita berkaca pada situasi sekarang.
Ya, situasi pandemi Covid-19 yang masih belum berakhir memang membuat segala kegiatan harus dilakukan dari rumah, termasuk proses belajar mengajar. Hal ini sesuai dengan imbauan Menteri Pendidikan Nadiem Anwar Makarim yang diterbitkan lewat Surat Edaran Mendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pencegahan COVID-19 pada Satuan Pendidikan, dan Nomor 36962/MPK.A/HK/2020 tentang Pembelajaran secara Daring dan Bekerja dari Rumah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease (COVID- 19). Hasilnya, anak-anak yang bersekolah di masa ini nggak lagi perlu berpamitan pada kedua orang tuanya karena 'lokasi sekolah' sementara berpindah ke meja belajar yang terletak di kamar atau di ruang keluarga masing-masing.
Di awal penerapan, mayoritas anak merasa bahwa belajar di rumah adalah praktik yang menyenangkan. Nggak perlu bangun pagi-pagi dan menggigil karena mandi buat ngejar jam masuk sekolah, lha wong bangun mepet sebelum kelas juga bisa kok.
" Sekolah rasa libur nih!"
Masalah mulai timbul saat masa belajar dari rumah terus-menerus diperpanjang seiring dengan penanganan pandemi yang masih belum menemukan titik terang. Wacana sekolah tatap muka sempat muncul, namun terpaksa kembali dibatalkan karena grafik pandemi yang justru naik lagi. Anak-anak pun akhirnya mulai merasakan kejenuhan dari pola kegiatan belajar mengajar yang baru ini.
Data dari Lembaga Bantuan Anak Indonesia (LBAI) menyebutkan bahwa banyak anak yang mengalami stres karena tekanan belajar di rumah selama pandemi Covid-19. Kondisi tubuh yang masih ada di tahap perkembangan membuat mereka lebih peka terhadap terhadap situasi yang dalam kadar tekanan tertentu akhirnya memancing munculnya stres.
Rasa stres kemungkinan besar muncul karena rutinitas yang terus-menerus berulang dan minim kejutan. Seperti kita semua bisa rasakan, rutinitas ini terasa menjemukan karena berpatok pada waktu. Saklek, sulit diubah, dan nggak fleksibel. Anak-anak nggak suka hal seperti ini. Mereka lebih senang dengan variasi kegiatan yang terjadi dalam rutinitas tersebut.
Kecenderungan ini sebenarnya bisa kita, para orang dewasa, pahami dari cerminan masa lalu kita. Semasa kecil, kewajiban pergi ke sekolah jadi terasa agak ringan karena kita tahu bakal ketemu dengan teman-teman kan? Bagi anak-anak, aspek belajar jadi hal sekunder, sementara bertemu teman adalah primer.
Mungkin terdengar salah. Masa sekolah demi main-main ketemu teman? Tapi, diakui atau nggak, semangat bertemu teman ini lah yang sedikit banyak memengaruhi mentalitas anak untuk nggak terlalu tertekan menghadapi pelajaran di sekolah. Hal yang hilang di masa belajar di rumah karena segala keterbatasan.
Terbatasnya ruang gerak juga jadi satu masalah yang membuat kegiatan belajar di rumah jadi membosankan. Bangun tidur, jalan ke meja belajar, duduk menghadap laptop/tablet/smartphone untuk belajar. Nggak ada perpindahan ruang yang berarti.
Kebosanan bisa muncul karena hal ini bertabrakan dengan prinsip psikologi ruang. David Alan Kopec, seorang ahli di bidang psikologi desain mengungkap adanya hubungan antara perilaku manusia dengan ruangan tempat ia berada. Psikologi ruang punya kontribusi pada emosi dan persepsi berdasarkan ruang yang kita tempati, yang nantinya akan berdampak langsung pada alam bawah sadar.
Misalnya dalam kondisi belajar di sekolah, anak sudah memiliki persepsinya sendiri saat berada di dalam ruang kelas. Secara emosi, anak sudah bisa membedakan bagaimana harus bersikap waktu ia duduk di bangku dengan waktu ia duduk di kantin. Saat berada di dalam kelas, anak akan ada dalam kondisi yang lebih siap untuk menerima pelajaran karena hal-hal yang terekam di alam bawah sadarnya.
Ceritanya menjadi lain saat anak melakukan kegiatan belajar di rumah. Sejatinya, persepsi utama terhadap rumah adalah sebagai tempat untuk istirahat. Saat kemudian fungsinya bergeser, dalam hal ini dijadikan tempat belajar utama, tentu anak harus melakukan penyesuaian ekstra yang tentu akan melelahkan secara psikologis.
" Dulu kalau sudah di rumah aku bisa santai lho. Kok sekarang harus lebih banyak seriusnya sih?"
Tugas untuk menjaga kondisi psikologis anak tetap stabil tentu ada di tangan orang tua. Salah satu siasat yang bisa dilakukan adalah dengan bermain pura-pura, seperti hal yang dilakukan oleh seorang warganet dan menjadi viral beberapa waktu lalu.
Pengguna Twitter @ApriantoDhany sempat mengunggah momen hari pertama sekolah dari sang putra. Dalam potret yang ia unggah, terlihat bahwa sang putra tetap mengenakan seragam sekolah lengkap, yakni kemeja putih dan celana pendek merah. Padahal proses belajar hanya dilakukan di rumah dengan menghadap laptop.
Selain itu, warganet asal Malang, Jawa Timur itu juga membawa permainan pura-puranya ke level yang lebih tinggi, yaitu dengan memindahkan suasana ala kantin sekolah ke rumah. Terlihat deret jajanan terpajang di atas meja.
Bermain pura-pura seperti ini rupanya memiliki peran yang sangat penting dalam proses perkembangan anak. Permainan pura-pura dapat memancing sisi imajinatif dan menjadi salah satu komponen vital dalam pembentukan kecerdasan. Sebab, ada beberapa proses kognitif dan afektif yang terjadi dalam permainan pura-pura.
" Permainan pura-pura dapat mengembangkan kemampuan berbahasa, berfantasi, dan meyakinkan orang lain (lewat peran yang dimainkan). Kemampuan anak untuk memahami ide, tema cerita, dan simbol juga jadi lebih terasah," terang Sandra Russ, psikolog klinis anak asal Universitas Case Western Reserve, Ohio, Amerika Serikat.
Membalut kegiatan belajar di rumah dalam permainan pura-pura seperti ini bisa menjadi pengganti untuk pengalaman dan interaksi yang hilang bagi anak-anak yang nggak mengalami proses belajar di sekolah untuk sementara waktu.
Membangun suasana sekolah juga dapat membangun batas antara waktu belajar dan waktu santai, mengingat keduanya sama-sama dilakukan di rumah. Maksimalkan fungsi ruangan di rumah dengan mengatur salah satu ruangan untuk difungsikan penuh sebagai tempat belajar. Hindari belajar di ruangan yang sama dengan tempat anak beristirahat karena hal itu akan mengaburkan persepsi mereka akan ruang.
Masalah dalam kegiatan belajar di rumah memang masih sangat banyak. Keterbatasan gawai, sinyal yang masih sering putus-putus, dan lain sebagainya. Namun, masalah kesehatan mental anak harus tetap menjadi perhatian utama, mengingat masa depan mereka yang masih panjang.
Untuk para orang tua, sabar sejenak ya. Kondisi ini pasti akan berlalu. Anak-anak pun kelak pasti akan menjadi generasi yang sangat tangguh karena sudah pernah melewati masa-masa belajar yang nggak mudah seperti ini. Suatu saat, visualisasi anak berangkat sekolah akan kembali menjadi normal sehingga pamitan sang anak dalam lagu di awal artikel bisa dilanjutkan dengan lirik yang berisi wejangan kedua orang tua.
Selamat belajar nak penuh semangat
Rajinlah selalu tentu kau dapat
Hormati gurumu sayangi teman
Itulah tandanya kau murid budiman