© Shutterstock
Seperti yang kita ketahui, menginjak usia remaja, anak-anak mulai memperluas pertemana atau circlenya. Hal ini adalah sesuatu yang wajar dan memang seharusnya begitu.
Tapi beberapa diantara anak terjerumus pada pertemanan yang toxic. Apapun penyebabnya, orangtua pasti nggak mau dong anaknya terlibat pada pertemanan yang nggak sehat tersebut. Pengin memberi tahu, tapi takutnya dikira ikut campur urusannya. Padahal kan dia sudah remaja, harusnya bisa dong mengatasi masalahnya sendiri? Terus orangtua harus gimana?
Sebelum membahas apa yang harus orangtua lakukan, orangtua harus tau dulu nih apakah anak bener-bener terlibat dalam pertemanan yang toxic atau nggak. Tanda-tandanya antara lain adalah nggak ada timbal balik yang seimbang antar keduanya.
Bisa orangtua perhatikan misalnya anak selalu setia dan 'ada', entah itu waktu diajak bermain atau dimintai tolong. Sementara giliran anak yang membutuhkan, temannya ini menghilang entah kemana.
Atau mungkin terlihat dari pola mereka berteman. Sedikit-sedikit berkelahi terutama karena kesalahan si teman, namun beberapa hari kemudian baikan, dan beberapa hari kemudian lagi berkelahi lagi karena kesalahan yang terulang. Pola inilah yang membuat pertemanan anak jadi toxic.
Kunci dari semua masalah adalah komunikasi. Jadi, daripada nge-judge tentang pertemanan anak yang toxic, mending komunikasikan terlebih dulu. Tanyakan apa yang anak pikirkan tentang temannya, begitu pula orangtua yang mengungkapkan apa yang dirasakannya pada pertemanan anak tersebut.
Penting bagi untuk memberi tahu anak bahwa orangtua ada di pihaknya. Melarang mereka berteman dengan orang tersebut justru membuat anak merasa bahwa orangtua hanya bisa melarang dan ikut campur aja. Usahakan untuk menjelaskan secara umum tentang apa arti teman yang sebenarnya. Sisanya, biar anak memproses informasi tersebut dan menyelesaikan masalahnya sendiri.
Memang butuh pengertian dan kesabaran, karena pikiran anak remaja itu bagaikan menyelesaikan soal aljabar. Susahnya minta ampun hehe~