Dua Sisi Ekspektasi untuk Anak, Membangun atau Meruntuhkan?

Reporter : Firstyo M.D.
Sabtu, 8 Februari 2020 12:31
Dua Sisi Ekspektasi untuk Anak, Membangun atau Meruntuhkan?
Ekspektasi orang tua pada anak nggak bisa dihindarkan. Masalahnya, seberapa jauh ekspektasi itu bisa berpengaruh baik dan sampai mana batasan yang membuat ekspektasi berpengaruh buruk?

Anak adalah harta paling berharga untuk orang tua. Nggak sedikit juga orang tua yang menganggap anak sebagai bagian dari investasi masa depan. Wajar kalau akhirnya beberapa orang tua menaruh harapan dan ekspektasi yang tinggi pada anak.

Ekspektasi paling umum orang tua biasanya adalah ingin anaknya untuk minimal mencapai level seperti mereka. Akan bagus kalau bisa lebih tinggi.

1 dari 3 halaman

Ekspektasi terlalu tinggi mengarah ke push parenting

Menurut Baumrind, psikolog anak yang mengembangkan teori gaya asuh orang tua, ekspektasi dari orang tua pada anak bisa mengarah pada gaya asuh push parenting. Push parenting sendiri adalah gaya asuh di mana orang tua terlalu menuntut anak.

Dengan model asuh push parenting, ekspektasi yang dibebankan pada anak bisa membuat yang bersangkutan merasa tertekan. Seperti yang dijelaskan oleh Stefania Romanini, ahli konseling dan psikolog.

Ilustrasi anak sedih

" Di titik tertentu anak bisa merasa ekspektasi orang tua nggak realistis untuk dicapai. Orang tua sering alpa dalam hal ini. Bagaimana pun yang menjalani adalah anak, sehingga sebaiknya orang tua mengetahui kondisinya terlebih dulu sebelum menaruh ekspektasi," jelas Stefania.

Celakanya, ekspektasi terlalu tinggi tersebut bisa memengaruhi performa anak di sekolah.

" Anak merasa harus memenuhi ekspektasi orang tua seolah nggak ada ruang untuk gagal. Waktu dia gagal sedikit saja, dia akan merasa sangat terpukul. Ini berbahaya untuk kepercayaan diri dan pengembangan mentalnya ke depan," lanjut Stefania.

2 dari 3 halaman

Ekspektasi ringan dengan target pendek lebih disarankan

Meski begitu, ekspektasi tetap diperlukan untuk memacu anak. Hanya saja perlu diingat kalau orang tua nggak bisa langsung berekspektasi tinggi. Semua harus dimulai dari hal-hal kecil dulu. Seperti yang dibagikan oleh Priscilla Baker, seporang ibu rumah tangga.

" Ekspektasi yang kuberikan untuk anak berbentuk to-do list. Jadi aku memberi jadwal hal-hal yang harus mereka lakukan setiap hari, mulai dari merapikan kasur saat bangun sampai menggosok gigi sebelum tidur. Biasanya mereka akan melapor dengan nada semangat 'Bu, aku sudah beresin kasur!'. Aku senang mendengarnya," terang Priscilla.

Ilustrasi anak dan orang tua

Ternyata memberi ekspektasi ringan seperti ini justru lebih disarankan oleh ahli karena bisa menumbuhkan optimisme pada anak.

" Target-target jangka pendek diperlukan agar mereka merasa mampu mengerjakan sesuatu. Ini akan jadi pondasi yang baik sebelum dia memenuhi ekspektasi yang lebih besar nantinya," terang Tamar Chansky, Ph.D., psikolog anak penulis buku 'Freeing Your Child From Negative Thinking'.

3 dari 3 halaman

Ekspektasi bisa berfungsi baik atau buruk, tergantung pada bagaimana orang tua membebankannya. Sebagai orang tua, sesuaikan ekspektasi agar anak nggak merasa terlalu tertekan. Beri ruang untuk dia merasakan gagal, bairkan dia belajar, bantu bangkit, dan beri apresiasi saat berhasil.

Beri Komentar