©Pks.id
Tahun 2017 lalu, Kemensos merilis data status Indonesia sebagai Fatherless Country ketiga tertinggi di dunia. Data lengkapnya memang belum diungkap, tapi fenomena ini cukup mengejutkan. Sementara itu, studi Psikolog Elly Risman dari 33 provinsi menemukan kalau waktu anak bertemu ayahnya cuman 65 menit perhari.
Fatherless adalah istilah untuk merujuk pada kondisi di mana pada keluarga utuh, anak nggak mendapat peran pengasuhan dari seorang ayah dalam kehidupannya. Dalam kondisi ini, anak cuman mendapatkan peran pengasuhan dari ibu saja. Sederhananya, ayah ada dalam keluarga tapi tak dirasakan keberadaannya.
Padahal saat ini Indonesia juga sedang dihadapkan dengan banyak tantangan yang tak mudah, salah satunya stunting. Dari hasil Survei Status Gizi Indonesia, prevalensi stunting Indonesia tahun 2022 berada di angka 21,6%.
Dikutip dari laman Stunting.go.id, stunting adalah kondisi gagal tumbuh yang menimpa anak di bawah umur. Penyebabnya adalah karena kekurangan gizi kronis yang terjadi di 1.000 hari pertama kehidupan. Dalam jangka pendek, stunting bisa menyebabkan terhambatnya pertumbuhan kognitif dan motorik anak hingga pertumbuhan otak. Bila dibiarkan, stunting berdampak pada menurunnya konsentrasi belajar anak.
Stunting bisa dicegah dengan banyak cara. Namun sayangnya, peran ayah seperti tidak kasat mata. Seolah-olah, calon ibu dan ibu lah yang mengemban tanggung jawab ini sepenuhnya.
Stunting yang berkaitan dengan 1.000 hari pertama kehidupan janin terjadi pada masa kehamilan, kelahiran dan pengasuhan dua tahun. Nah, fase ini dipahami menjadi sebagai tanggung jawab ibu saja.
Menurut Kurniasih Mufidiyanti, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, pemahaman seperti ini harus segera diluruskan sebab anak adalah tanggung jawab bersama dua orang tua.
Anggota DPR RI dari Fraksi PKS ini berpendapat para ayah bisa berperan dalam membangun kebiasaan dan pola hidup sehat di rumah. Kewibawaan dan sosok kepemimpinan ayah memegang peran besar sebagai teladan keluarga.
Para ayah juga diharapkan mengalokasikan anggaran keluarga yang cukup untuk pemenuhan kecukupan gizi dan menghindari konsumsi yang tidak berguna. Sangat disayangkan bila anggaran rokok ternyata lebih besar dari anggaran makan keluarga. Padahal, makanan dengan gizi seimbang tak selalu mahal.
Selama proses hamil dan menyusui, para ayah harus memberikan dukungan kepada ibu atau calon ibu yang mengalami perubahan fisik maupun mental. Nggak lupa juga nih para ayah harus memberikan lingkungan yang kondusif bagi para ibu memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan pertama dan menjadi partner yang hebat dalam mengawasi tumbuh kembang anak.
Makanan tinggi gizi tak selalu mahal. Tim Moringa Provinsi Nusa Tenggara Timur melakukan inovasi pemanfaatan produk olahan tumbuhan kelor untuk menurunkan angka stunting di NTT. Dan inovasi ini diapresiasi oleh Kurniasih Mufidayati. Menurutnya, ini merupakan bukti bahwa bangsa Indonesia mampu menghasilkan obat-obatan atau produk kesehatan sendiri.
Kurniasih mengatakan, pihaknya mendukung penuh terobosan dan inovasi tersebut, mengingat saat ini pemerintah sedang gerak cepat mencapai angka stunting 14% di 2024 nanti. Dia berharap dengan kerja sama Kemenkes, produk dari daun kelor ini menjadi satu opsi makanan tambahan untuk anak-anak hingga asupan nutrisi untuk ibu hamil dan janin.
“ Karena mereka adalah calon pemimpin di masa depan, dan mudah-mudahan juga kalau ini bisa untuk ibu hamil, bisa dalam bentuk makanan untuk ibu hamil, sehingga karena memang melakukan pencegahan stunting ini dari sejak ibu hamil, kan dilakukan maka ini juga akan sangat positif sekali dampaknya untuk janin, pasti akan baik juga tumbuh kembang bayinya,” tutupnya.
Jadi untuk kamu yang belum berkeluarga, pastikan memilih dan menjadi pasangan laki-laki yang punya peran sama besar untuk tumbuh kembang anak, ya!