© Findingcoopersvoice.com
Kasih sayang orang tua pada anak-anak mereka memang nggak perlu diragukan lagi. Tapi terlepas dari hal itu, mungkin beberapa orang tua yang memiliki anak dengan kondisi autisme pernah mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa sang anak punya kondisi berbeda dengan anak lain.
Autisme merupakan gangguang perkembangan otak yang menyebabkan anak kesulitan dalam melakukan komunikasi atau berinteraksi dengan orang lain. Selain itu kondisi ini juga bisa mempengaruhi perilaku anak hingga dewasa.
Membesarkan anak dengan kondisi autisme menjadi sebuah tantangan bagi orang tua. Itulah yang dirasakan oleh Jamie Swenson, seorang ayah yang menulis sebuah surat mengharukan untuk anaknya di His View From Home. Dia menuliskan bagaimana perasaannya saat mengetahui bahwa sang anak mengidap autisme. Berikut isi suratnya.
Untuk anakku,
Aku ingat momen di mana aku benar-benar terkejut saat mengetahui bahwa kamu akan mengidap autisme selamanya. Dan itu bukan hanya sebuah kata. Atau sesuatu yang anak orang lain dapatkan.
Saat itu ibumu mengatakan padaku bahwa ada sesuatu yang aneh. Atau saat dia melakukan checklist larut malam.
Aku ingat aku sangat marah padanya. Aku membelamu.
Aku mendengar dia mengatakan hal-hal tentang non-verbal dan tertunda dan aku menolak untuk percaya bahwa kamu mengalaminya.
Aku nggak tahu kenapa ibumu mencari tahu hal yang nggak ada.
Anak-anak itu bukan kamu. Maksudku, kita punya hal yang harus dilakukan, Nak. Aku dan kamu.
Kita akan pergi untuk memancing ikan. Aku sudah merencanakan perjalanan kita bersama dengan teman-temanku.
Aku ingin menghabiskan banyak waktu untuk bermain baseball denganmu seperti saat aku melakukannya dengan kakekmu. Aku akan melatih teammu.
Aku ingin mengajarimu naik sepeda. Menyetir mobil.
Kamu adalah anak pertamaku. Dan aku membayangkan bahwa kamu akan menjadi bayanganku.
Aku punya banyak rencana untuk kita.
Kondisi autisme yang kamu alami nggak benar-benar membuatku sadar sampai hal itu semakin sulit. Kamu nggak tidur. Kamu menolak untuk makan. Kamu berteriak setiap waktu.
Aku akan membawamu keluar ke teras dan garasi dan aku ingat kamu melihat ayunan dan bertanya apa yang harus kamu lakukan. Kamu menatap kotak pasir dan mainan. Kamu menolak untuk memegang tongkat baseball yang aku belikan untukmu.
Kamu melihat sebuah truk. Aku membelikanmu sebuah kendaraan untuk berkililing. Tapi kamu menolak untuk naik.
Aku nggak bisa mengatahuinya, Nak. Aku nggak bisa memahamimu.
Saat kita mengucapkan selamat tinggal pada tempat sekolahmu, aku sadar bahwa semua ini nyata.
Aku menghabiskan waktu untuk bersedih. Kamu nggak tahu itu. Ibumu juga nggak tahu.
Aku nggak menunjukkan pada siapa pun. Aku nggak bisa.
Aku ingat duduk bersama dengan pamanmu dan mendengarkan mereka bercerita tentang anak-anak mereka. Salah satunya mulai mengikuti club olahraga. Yang lain sedang belajar membaca. Dan mereka seusiamu, Nak.
Aku tahu kita berbeda. Aku tahu sekarang bahwa aku boleh bersedih dan bercerita pada mereka untuk mendapatkan dukungan.
Sekarang umurmu 8 tahun. Kamu sudah besar. Kamu masih nggak bisa bicara. Kamu nggak pernah naik sepeda. Kita belum pernah punya salah satu momen ayah dan anak yang aku bayangkan saat kamu masih bayi.
Tapi aku belajar bahwa hal itu nggak apa-apa. Dan bahwa aku masih punya hal-hal luar biasa untuk dilakukan sebagai ayahmu, bahkan meskipun hal itu bukanlah hal yang aku impikan.
Aku ingin kamu tahu bahwa kamu mengubah segalanya untukku. Kamu menunjukkan padaku sebuah dunia yang aku nggak pernah tahu.
Tadi malam aku melihatmu berbaring di tengah lapangan baseball bersama ibumu. Kamu menunjuk ke atas dan berteriak. Kamu tersenyum.
Kamu melempar bola. Kamu bertepuk tangan. Kamu melompat. Kamu memelukku dalam pelukan paling besar.
Aku sadar tadi malam bukanlah pertandingan baseball yang aku bayangkan. Tapi hal itu masih berarti.
Aku ingin berterima kasih padamu, Nak.
Kamu telah mengajarkanku tentang kesabaran. Kamu telah mengajarkanku bahwa nggak apa-apa untuk menjadi berbeda.
Kamu telah mengajarkanku untuk nggak apa-apa merasa sedih ketika hidup nggak berjalan sesuai rencana. Kamu telah mengajarkanku bahwa nggak apa-apa untuk mengungkapkan perasaan itu.
Kamu sudah mengajarkan aku untuk melawan apa yang dianggap benar. Untuk berdisi dan mengatakan bahwa sesuatu salah, dan mendorong orang lain untuk berdiri bersamamu dan mengatakan hal yang sama.
Ibumu dan aku telah menghabiskan 8 tahun berusaha untuk mendengar suaramu. Dan sejujurnya, kami nggak tahu apakah kami bisa mendengarnya suatu hari nanti.
Lagipula, sesuatu yang luar biasa terjadi. Kamu memberiku suara, Nak.
Pekerjaanku di dunia ini adalah untuk membuat sebuah dunia untukmu, dan anak-anak lain sepertimu. Untuk menjadi suara yang nggak kamu miliki, dan untuk membangun komunitas yang bisa menumbuhkanmu di dalamnya.
Dulu aku selalu menghindar dari orang-orang berkebutuhan khusus, Nak.
Yah, mungkin hanya sebagian yang benar. Sebelum kamu, sebelum autisme, aku begitu terjebak dalam duniaku sendiri sehingga aku mungkin nggak menyadarinya.
Sekarang aku melihat berbagai hal secara berbeda.
Aku memperhatikan. Aku melakukan semua itu untuk diriku sendiri. Dan aku berharap bisa menjadi contoh untuk orang lain.
Kamu membuka tempat di hatiku, Nak.
Aku berjanji padamu bahwa aku akan menghabiskan hidupku untuk menjagamu agar tetap aman dan membuat dunia ini menjadi lebih baik untukmu.
Terima kasih,
Love,
Dad
Mengharukan banget ya surat yang ditulis oleh Jamie untuk sang anak yang mengidap autisme. Kenyataan itu memang nggak mudah untuk diterima setiap orang tua. Tapi sebagai orang tua kita nggak boleh menyerah dan harus tetap berusaha memberikan yang terbaik untuk anak seperti yang dilakukan oleh Jamie. Semoga surat Jamie ini bisa menginspirasi setiap orang tua untuk nggak menyerah dengan kondisi anak.