© Unsplash.com
Maaf, disebut sebagai salah satu dari tiga kata ajaib yang wajib diajarkan pada anak selain tolong dan terima kasih. Mengajarkan konsep maaf pada anak artinya kita memberi pemahaman tentang empati dan tanggung jawab atas kesalahan yang ia buat.
Tujuan dari mengajarkan anak tentang maaf adalah agar si kecil tahu kapan waktu yang tepat untuk menyampaikan kata tersebut. Namun, ternyata ada skenario tak terduga yang terjadi di beberapa anak, di mana si anak ternyata justru terlalu sering minta maaf, bahkan untuk hal sepele yang bukan kesalahannya.
Misal, ketika anak tidak sengaja menutup pintu terlalu kencang sehingga menimbulkan bunyi benturan yang keras. Tidak ada orang yang terluka, tidak ada barang yang rusak, hanya ada beberapa orang yang kaget karena suaranya.
Hal tersebut mungkin terlihat sepele atau bahkan lucu untuk beberapa orang. Namun si anak yang melakukan hal tersebut menganggapnya sebagai sebuah kesalahan sehingga ia terus menerus minta maaf, tidak hanya satu kali.
Apakah penyebab terjadinya hal itu?
Martin Antonym, seorang direktur divisi Anxiety Research and Treatment Lab di Ryerson University, Toronto, Kanada mekatakan jika permintaan maaf yang berlebian merupakan sebuah tanda kecemasan dini pada anak.
Lebih jauh lagi, Antony menyebut hal itu sebagai salah satu tanda depresi.
" Di posisi itu, anak akan minta maaf sebanyak mungkin sebagai bentuk perlindungan diri atas perasaan terancam. Permintaan maaf semacam itu bukan datang dari rasa empati atau tanggung jawab," ujar Antony dilansir dari laman Vice.
Saat melihat anak yang terus menerus minta maaf, adalah tugas orang tua untuk mendeteksi hal tersebut dan segera melakukan pencegahan. Pasalnya, kebiasaan anak untuk minta maaf berlebihan mampu menumbuhkan potensi negatif yang lebih besar seiring si anak beranjak dewasa.
" Anak yang minta maaf berlebiha pada intinya sedang menyelamatkan diri. Jika terbawa sampai ia dewasa, ia bisa menjadi seseorang yang tidak percaya diri," terang Antony.
" Lebih jauh, karena kebiasaannya meminta maaf itu, anak bisa menjadi orang yang tidak dianggap dan diremehkan lingkungan," imbuhnya.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan orang tua saat anak terlalu sering minta maaf. Yang pertama, orang tua bisa mulai mengatur intonasi bicara menjadi lebih rendah. Pasalnya, dalam kondisi terguncang, seorang anak cenderung digerakkan oleh reflek sebagai respon atas kepanikan yang tercipta. Reflek itulah yang mendorong ia untuk mengucapkan maaf di momen yang tidak tepat. Suara yang terdengar menenangkan dari orang tua dapat membantu emosi anak jadi lebih stabil.
Kedua, orang tua harus memberi pemahaman tentang permintaan maaf yang sesuai dengan tempatnya. Saat si kecil melontarkan permintaan maaf secara terus menerus atau di hal yang bukan salahnya, orang tua tidak boleh asal menerima kata maaf itu. Jangan ragu untuk bilang " Nggak apa-apa nak, nggak perlu minta maaf, kamu nggak salah." Tentu dengan penjelasan setelahnya.
Terakhir, orang tua wajib memberi pemahaman tentang memperbaiki kesalahan. Caranya adalah dengan tidak menggunakan pilihan kata yang terdengar menyudutkan saat anak membuat suatu kesalahan. Misal, saat anak salah meletakkan suatu barang di tempat yang tidak tepat, kalimat " Lain kali ditaruh di sana ya nak" akan terdengar lebih baik dibanding " Lho kok di situ? Salah!" . Dengan demikian, anak akan lebih fokus untuk bertanggung jawab atas kekeliruannya alih-alih membentengi diri lewat permintaan maaf bertubi-tubi.
Semoga dengan cara ini, si kecil bisa lebih paham tentang penggunaan kata maaf yang tepat ya!