© Freepik
Dalam kehidupan masyarakat yang terus berkembang, tidak jarang para lansia mengalami Post Power Syndrome, tetapi jangan di salah artikan ya Diazens, bukan berarti lansia saja yang dapat terkena sindrom ini. Semua orang dapat terkena Post Power Syndrome, nah dalam artikel ini, kita akan menjelajahi Post Power Syndrome lebih dalam, memahami penyebab dan gejala yang terkait, serta memberikan strategi yang dapat membantu para lansia mengatasi perasaan tersebut dan menemukan hal baru dalam kehidupan pasca-pensiun.
Dengan pemahaman yang lebih baik tentang sindrom ini, kita dapat memberikan dukungan yang lebih baik kepada para lansia atau mungkin Diazens memiliki ayah, kakek, pakdhe atau yang saudara lainnya yang sedang mengalami masa transisi ke fase baru dalam hidup mereka setelah meninggalkan kekuasaan yang mereka miliki sebelumnya. Yuk langsung simak aja Diazens!
© Freepik
Post Power Syndrome yaitu sindrom yang bersumber dari berakhirnya suatu jabatan atau kekuasaan, di mana penderita tidak bisa berfikir realistis, tidak bisa menerima kenyataan, bahwa sekarang sudah bukan pejabat lagi, bukan karyawan lagi, dan sudah pensiun. Fenomena ini sering kali terjadi pada individu yang sebelumnya menikmati posisi otoritas atau kepemimpinan yang signifikan dalam karir atau kehidupan mereka.
Pasca-pensiun, ketika mereka tidak lagi memiliki wewenang yang sama, mereka mungkin mengalami perasaan kehilangan, kebingungan, atau bahkan depresi karena merasa tidak lagi memiliki tujuan atau makna dalam kehidupan mereka.
Lansia sangat rentan mengalami post-power syndrome. Menjalani masa pensiun ditanggapi dengan berbagai cara. Ada yang merasa gembira karena terbebas dari pekerjaan yang selama ini harus selalu dipertanggungjawabkan, namun tidak jarang juga karyawan yang merasa kebingungan akan apa yang dikerjakan setelah pensiun. Masa pensiun sering ditanggapi dengan perasaan yang bernada negatif, tidak menyenangkan dan bahkan dipandang sebagai masa yang menakutkan.
© Freepik
Pensiun dari Pekerjaan Berpangkat Tinggi:
Seorang eksekutif perusahaan yang telah pensiun setelah bertahun-tahun mengemban tanggung jawab dan kekuasaan besar mungkin mengalami PPS. Mereka yang sebelumnya biasa memimpin dan mengambil keputusan penting, tiba-tiba harus beradaptasi dengan kehidupan tanpa kekuasaan tersebut. Mereka mungkin merasa kehilangan identitas mereka dan sulit menemukan peran baru dalam masyarakat.
Penurunan Kesehatan dan Kemandirian:
Lansia yang sebelumnya aktif secara fisik dan mandiri tetapi mengalami penurunan kesehatan yang signifikan mungkin mengalami PPS. Mereka yang dulunya dapat melakukan segala sesuatu dengan mudah, seperti berjalan jauh atau melakukan kegiatan fisik lainnya, sekarang mungkin harus bergantung pada orang lain untuk bantuan. Ini bisa menyebabkan perasaan kehilangan kontrol dan harga diri yang rendah.
Kehilangan Pasangan atau Teman:
Ketika seorang lansia kehilangan pasangan hidup atau teman dekatnya, terutama jika pasangan tersebut memiliki peran dominan dalam hubungan tersebut, mereka dapat mengalami PPS. Mereka mungkin merasa kehilangan tidak hanya pendamping hidup, tetapi juga peran dan identitas mereka sebagai suami, istri, atau sahabat.
Perpindahan ke Tempat Perawatan:
Lansia yang dipindahkan ke rumah perawatan atau fasilitas perawatan jangka panjang setelah kehilangan kemampuan untuk merawat diri sendiri dapat mengalami PPS. Ini melibatkan kehilangan otonomi dan kebebasan yang signifikan, serta penyesuaian dengan lingkungan baru dan interaksi dengan orang-orang baru.
© Freepik
Kesulitan menerima kenyataan. Lansia yang mengalami PPS mungkin kesulitan menerima kenyataan bahwa mereka sudah tidak lagi bekerja dan memiliki jabatan seperti dulu.
Menilai diri berdasarkan pencapaian masa lalu. Mereka cenderung mengenang kembali pencapaian di masa kerja dan membandingkannya dengan keadaan sekarang, sehingga bisa menurunkan rasa percaya diri.expand_more
Perasaan kehilangan identitas. Pekerjaan bagi sebagian orang bisa menjadi bagian dari identitas mereka.expand_more Kehilangan pekerjaan bisa membuat mereka merasa kehilangan jati diri.
Kurangnya rutinitas dan tujuan hidup. Setelah terbiasa dengan rutinitas bekerja, para lansia mungkin bingung bagaimana mengisi waktu luang mereka setelah pensiun.
Depresi dan isolasi sosial. Perasaan kehilangan dan kurangnya tujuan hidup bisa berujung pada depresi dan isolasi sosial.
© Freepik
Kurangnya persiapan menghadapi pensiun. Jika seseorang tidak mempersiapkan diri dengan baik untuk menghadapi masa pensiun, mereka akan lebih rentan mengalami PPS.
Identitas yang terlalu terikat dengan pekerjaan. Jika seseorang terlalu menggantungkan identitas dirinya pada pekerjaannya, maka mereka akan lebih mudah mengalami PPS saat pensiun.
Kurangnya dukungan sosial. Kurangnya dukungan sosial dari keluarga dan teman bisa memperparah gejala PPS.
Persiapan sebelum pensiun. Mulailah mempersiapkan diri untuk menghadapi masa pensiun jauh-jauh hari.
Mencari aktivitas dan hobi baru. Isi waktu luang dengan aktivitas dan hobi yang menyenangkan dan memberi arti.
Memperkuat hubungan sosial. Tetap terhubung dengan keluarga dan teman.
Mencari dukungan psikologis. Jika diperlukan, jangan ragu untuk mencari bantuan psikolog untuk mengatasi gejala PPS.
Dalam menanggapi Post Power Syndrome pada lansia, kita diingatkan tentang pentingnya pengertian, empati, dan dukungan sosial terhadap para lansia yang mengalami transisi kehidupan yang sulit ini. Sangatlah penting bagi kita untuk mengakui bahwa masa pensiun bukanlah akhir dari kehidupan mereka, tetapi justru merupakan awal dari babak baru yang penuh dengan potensi dan kesempatan untuk mengeksplorasi minat baru, berkontribusi pada masyarakat, dan menjalani kehidupan yang bermakna.
Semoga beberapa contoh, dampak dan cara mengatasi post power syndrome pada lansia diatas dapat membantu ya Diazens! Maka dari itu yuk Diazens kita bersama-sama berkomitmen untuk menjaga kualitas hidup para lansia yang kita cintai, dengan cara memberikan penghormatan yang layak atas kontribusi dan pengalaman mereka selama ini.