© Twitter.com/hendralm
Kabar duka datang dari Kota Jogja. Ratusan siswa dari SMPN 1 Turi hanyut saat melakukan susur sungai dalam rangka kegiatan ekstrakurikuler Pramuka. Sebanyak 10 orang siswa ditemukan tak bernyawa. Ratusan lainnya selamat, tapi pasti dengan bekas trauma di diri mereka.
Tragedi tersebut kemudian membuat publik bereaksi. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahkan mengeluarkan pernyataan kontroversial yang meminta kementrian terkait untuk meninjau ulang kebijakan kegiatan Pramuka.
Sementara itu, masyarakat umum di media sosial juga jadi mengingat kembali beberapa kejadian saat mengikuti kegiatan Pramuka. Salah satu yang paling viral dan memantik diskusi adalah dari cuitan akun @hendralm.
Samuel Christian, pemilik akun @hendralm, dalam cuitannya menyantumkan empat foto kegiatan Pramuka yang secara umum menjurus pada praktik plonco.
biar apa? pic.twitter.com/0kd2TVltI4
— Samuel Christian H (@hendralm) February 23, 2020
Dalam foto-foto tersebut nampak siswa-siswa beratribut Pramuka sedang berbaring di sungai berlumpur, berendam di kubangan, dan makan berpiringkan rumput lapangan.
Cuitan tersebut membuat netizen terbelah, antara yang setuju dan nggak. Yang setuju mengatakan praktik tersebut baik untuk kekuatan mental sementara yang nggak setuju mengatakan praktikk tersebut sama dengan perploncoan yang sebaiknya dihentikan.
Jadi, sebenarnya bagaimana sih posisi praktik plonco di dunia pendidikan?
Rupanya, perploncoan adalah kebiasaan yang sudah lama mengakar, bahkan sejak zaman kolonial.
Dikutip dari historia.id berdasarkan penuturan Mohammad Roem bahwa di Stovia (Sekolah Dokter Bumiputera) pun saat itu praktik plonco sudah terjadi. Praktik tersebut saat itu bernama ontgroening, yang secara harfiah berarti menghilangkan warna hijau. Secara makna ontgroening bertujuan untuk menghilangkan kehijauan dari siswa baru yang dianggap 'masih hijau'.
Pun begitu, praktik plonco tersebut bisa dikatakan masih terikat aturan, di antaranya nggak boleh dilakukan di waktu belajar dan istirahat. Ploncoannya pun terbatas pada lingkup wawasan umum seperti pengenalan budaya daerah masing-masing.
Semakin modern zaman, ternyata praktik plonco justru semakin nggak masuk akal. Mulai dari ospek dengan berbagai dandanan aneh, sampai kekerasan fisik yang sampai memakan korban jiwa. Semuanya atas nama senioritas.
Anies Baswedan semasa menjabat sebagai menteri pendidikan sudah pernah menekankan bahwa praktik plonco di sekolah, utamanya yang biasa terjadi di hari pertama, harus dihentikan. Pernyataan tersebut bahkan dimuat dalam laman resmi Kemendikbud.
Agaknya manfaat dari praktik perploncoan sangat bisa diperdebatkan. Mungkin memang bisa menguatkan mental bagi beberapa orang, tapi apa iya jalur tersebut adalah satu-satunya yang bisa ditempuh?
Dari segi manfaat yang kabur dan kementrian sebagai penyusun regulasi yang sudah melarang, rasanya memang praktik plonco di dunia pendidikan sudah seharusnya untuk ditinggalkan. Lebih baik menekankan nilai-nilai yang lebih relevan dengan situasi sekarang agar tercipta pribadi-pribadi yang berkualitas.