© Baby-chick.com
Selama ini, kita sudah biasa mengenal sistem kerja konvensional di mana para pekerja beraktivitas di dalam satu ruangan bernama kantor. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi, beberapa perusahaan mulai menerapkan sistem kerja remote.
Kerja remote atau remote working adalah sistem kerja di mana para pekerja bisa melakukan tugasnya dari manapun tanpa perlu pergi ke kantor. Sekilas, fleksibilitas ini seperti jawaban atas kesulitan para orangtua muda.
Seperti kita ketahui, beberapa pasangan menikah mengalami fase di mana mereka harus meninggalkan anak karena baik sang suami maupun sang istri sama-sama bekerja. Kesulitan muncul karena dengan meninggalkan anak berarti para orangtua tersebut nggak bisa sepenuhnya mengawasi dan mengawal pertumbuhan anak dengan maksimal. Namun benarkah remote working menjadi jawaban yang tepat?
Dilansir dari tulisan Abdullahi Muhammed untuk forbes.com, remote working memiliki beberapa keuntungan untuk para orangtua. Misal, mereka bisa mengawal sang anak sejak sarapan, menyambut saat pulang sekolah, dan mengantarnya tidur malam.
Kamu juga bisa berkontribusi dalam beberapa kegiatan sekolah yang memerlukan keterlibatan orangtua di siang hari.
Yang paling utama, kamu bisa selalu mendengarkan keluh kesah anak sehari-hari lebih intens. Sementara dari sisi anak, mereka bisa langsung bercerita pada orangtuanya tanpa harus menunggu mereka pulang bekerja.
Di Indonesia, isu ini diangkat ke permukaan oleh Iim Fahima Jachja, pendiri dan CEO Queenrides, media otomotif untuk para perempuan.
Mengapa pemerintah dan korporasi perlu serius memikirkan kebijakan terkait bekerja dari rumah/remote working.
Bukan sekedar mengikuti trend the future of work. Ini soal menyelamatkan anak-anak Indonesia.
Sebuah utas. @jokowi @idafauziyah
Melalui utas yang ia cuitkan di akun @iimfahima, ia mengatakan bahwa korporasi, didukung oleh pemerintah, harus mulai berpikir serius untuk memikirkan kebijakan terkait remote working demi menyelamatkan anak-anak Indonesia.
Iim mengambil contoh bagaimana repotnya ia yang sebelumnya bekerja kantoran dan di saat yang bersamaan harus berperan sebagai ibu. Seringkali ia memimpin meeting, menyusun proposal, dan menjadi pembicara sembari menyempatkan untuk menyusui anaknya.
Ketika akhirnya mendirikan Queenrides, ia menerapkan sistem kerja 100% remote dengan 97% pekerjanya adalah perempuan. Dari apa yang dikerjakan ini, Iim kemudian didapuk sebagai pembicara dalam diskusi topik 'The Future of Work' yang diadakan World Economic Forum di China beberapa bulan lalu.
Pertimbangan untuk segera meregulasi sistem remote working juga didorong oleh realita kondisi mental anak yang dipaparkan oleh psikolog anak, Faiz Hayaza.
Melalui status Facebook-nya, ia menuturkan temuannya. Selama September 2019, klien paling sering datang dari remaha dengan rentang usia 13-18 tahun, di mana 75%-nya mengalami gangguan kecemasan, depresi, kecenderungan menyakiti diri, dan keinginan untuk bunuh diri.
Yang menambah miris, 100% orangtua klien-klien tersebut nggak mengetahui bagaimana kondisi anak karena si anak nggak bercerita. Ada banyak alasan, namun hampir semuanya merupakan masalah yang datang dari kurangnya komunikasi keluarga.
Mengetahui fakta ini, rasanya pemerintah perlu meninjau lebih jauh untuk kemudian memertimbangkan peregulasian sistem remote working ini dari banyak sisi.
Sembari menunggu, para orangtua bisa mulai kembali mendekatkan diri dengan anak di rumah. Jangan sampai kesibukan dalam bekerja menyedot segala perhatian yang seharusnya didapat oleh anak.