© Shutterstock
Selain mengulang kata dan berbicara patah-patah, seseorang yang gagap juga menunjukkan gejala seperti mata berkedip lebih cepat dan bibir yang bergetar. Kondisi ini akan membuat pengidapnya mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Tak jarang kalau pengidapnya juga mengalami penurunan kualitas hidup.
Data dari The Stuttering Foundation menyebutkan, gagap dialami oleh sekitar 70 juta orang atau 1 persen dari keseluruhan jumlah penduduk di seluruh dunia. Menariknya, gagap lebih sering dijumpai pada laki-laki dengan perbandingan satu banding empat atau empat kali lebih banyak.
Ternyata, gagap sendiri terjadi karena banyak faktor. Salah satunya juga memang diduga ada peran genetik alias keturunan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sekitar 60 persen dari kondisi gagap yang terjadi pada anak, diwariskan dari orang tua dengan kondisi serupa atau anggota keluarga lainnya.
Selain karena genetik, gagap juga bisa terjadi karena beberapa faktor lain seperti kondisi neurogenik. Kelainan ini bisa dipengaruhi oleh masalah pada otot, saraf, dan otak yang turut terlibat dengan kemampuan berbicara seseorang.
Masalah ini bisa disebabkan karena kecelakaan sehingga cedera otak dan kondisi lainnya seperti stroke dan Alzheimer.
Meski jarang terjadi, gagap yang dialami seseorang juga dihubungkan dengan trauma secara emosional. Kondisi ini umumnya dialami orang dewasa yang mengalami depresi atau masalah kesehatan mental tertentu.
Para peneliti juga mengaitkan gagap dengan masalah yang terjadi pada kendali motorik berbicara. Sementara itu, gagap yang menyerang anak dikaitkan dengan masalah yang terjadi pada pertumbuhan dan perkembangan yang tidak sesuai usianya atau terlambat.
Beberapa cara penanganan yang bisa dilakukan, di antaranya:
Semoga informasi ini bermanfaat ya!