© Euneighbors.eu - Ideal-ist - Liputan6.com - Quote Master (diedit Oleh Diadona.id)
Sudah hampir dua tahun sejak pertama kali Covid-19 menyebar di Tanah Air. Waktu yang nggak sebentar, tapi tetap bisa membuat beberapa orang tak mempercayai keberadaannya. Berbagai teori dikemukakan sebagai kontra dari penjelasan ilmiah terkait penyakit yang disebabkan oleh virus corona ini. Mulai dari penyebaran penyakit sampai vaksin penyembuhnya dapat jatah yang sama untuk dibumbui dengan berbagai cocokologi.
"Ah, ini kan virus buatan negara maju untuk menguasai dunia!"
"Vaksin itu kan di dalamnya ada microchip yang bisa bikin aktivitas kita terlacak!"
"Masker itu cuma akal-akalan K-Popers biar semua orang kelihatan kayak idol!"
Sederet ungkapan di atas dapat digolongkan sebagai teori konspirasi. Memang nggak masuk akal untuk sebagian orang, tapi juga sangat dipercaya oleh sebagian lainnya. Hal ini kemudian memunculkan pertanyaan besar, mengapa dalam banyak kasus teori konspirasi bisa lebih dipercaya ketimbang penjelasan logis?
Konspirasi secara sederhana bisa dipahami sebagai kepercayaan bahwa ada dalang besar di balik semua peristiwa yang berkaitan dengan hal-hal berbahaya, ilegal, dan rahasia. Dalang yang dimaksud dalam teori konspirasi adalah mereka yang tergabung dalam perkumpulan rahasia, yang memiliki sebuah rencana besar seperti menguasai dunia.
Istilah 'menguasai dunia' mungkin sering kita dengar keluar dari mulut Mojojojo, monyet jahat di kartun 'Power Puff Girls' atau Plankton dari serial 'SpongeBob Squarepants'. Nuansanya terlalu kartun/komik banget untuk suatu bahasan yang serius dan substansial, tapi begitulah yang dipercayai dalam teori konspirasi. Bahkan jika dirunut lebih jauh, teori konspirasi bisa terasa masuk akal lho.
Hmm, jadi perlu dipercaya atau nggak nih?
Teori konspirasi biasanya akan muncul saat ada suatu kejadian yang sulit untuk dicerna oleh akal sehat. Sebenarnya bukan kejadian yang sama sekali nggak masuk di logika, tapi seringkali perlu lebih banyak sumber informasi dan ilmu yang kita baca untuk memahaminya. Teori konspirasi pun hadir sebagai cara termudah untuk melogiskan kejadian-kejadian yang dirasa di luar nalar.
Psikolog asal Universitas Mainz Prof. Dr. Roland Imhoff mengungkap bahwa teori konspirasi secara psikologis merupakan buah dari insekuritas manusia yang tak menyukai situasi tak menentu yang di luar kontrol.
" Dari perspektif psikologi, kita bisa memperkirakan narasi konspirasi akan sangat populer di masa kritis. Hal ini berhubungan dengan fungsi narasi semacam itu karena manusia pada umumnya tidak menyukai situasi yang tak menentu. Kita tidak menyukai situasi kehilangan kontrol dan hanya bisa pasrah. Akhirnya kita mencari penjelasan terkait suatu kejadian karena dianggap memberi kemungkinan untuk meramalkan apa yang akan terjadi di kemudian hari dan membuat kita merasa bisa mengendalikan jalannya suatu kejadian," terang Roland.
Penjelasan tersebut juga sejalan dengan penjelasan pakar neurosains asal Universitas Dartmouth Paul Whalen. Paul mengungkap bahwa amygdala yang ada di dalam otak akan otomatis mencari suatu pola saat kita menghadapi situasi yang kacau dan sulit dimengerti. Jadi, bisa dibilang faktor cara kerja alami otak manusia juga turut mendukung terciptanya teori konspirasi.
Berdasarkan penjelasan di atas, teori konspirasi bisa disebut sebagai sebuah spekulasi yang memiliki alur sehingga sangat mudah dicerna, memunculkan ilusi seolah hal tersebut adalah sebuah kebenaran. Tokoh filsafat, matematika, dan ekonomi asal Inggris, Frank Plumpton Ramsey menggambarkan kejadian itu dalam teorinya yang disebut Teori Ramsey.
Dalam Teori Ramsey, dikatakan bahwa saat menghadapi data acak yang melimpah, manusia punya kecenderungan untuk menghubungkan satu data dengan data lain sampai membentuk pola. Tujuannya adalah untuk memilah-milah, mana informasi yang berguna dan mana yang cuma dianggap selewat saja.
Masalahnya, kecenderungan ini justru sering membuat kita terjebak untuk menghubungan data-data yang sebenarnya sama sekali nggak berhubungan cuma demi menemukan jawaban termudah yang bisa kita terima. Kira-kira, hal ini serupa dengan cara putus asa yang sering kita lakukan waktu menjawab ujian di masa sekolah, yaitu dengan melihat pola jawaban di soal pilihan ganda.
" Kalau jawaban di soal nomor satu sampai empat A, C, A, B, pasti soal nomor lima sampai delapan juga A,C, A, B dong!"
Padahal kan belum tentu benar. Kalau ngawurnya sih sudah pasti.
Penerapan kecenderungan membentuk pola ini kelihatan jelas dari salah satu teori konspirasi paling populer, yaitu tentang bumi yang dipercayai berbentuk datar alih-alih bulat. Anggapan bumi datar muncul karena secara kasat mata kita nggak bisa menemukan bukti kalau planet yang kita tinggali ini berbentuk bulat, cuma karena permukaan yang kita pijak ini terasa datar.
" Kalau jalanan depan rumah aja datar, pasti bentuk bumi juga datar dong!"
Padahal kan belum tentu benar. Kalau ngawurnya sih..............belum tentu juga.
(penulis mencari aman karena masih butuh pembaca, termasuk yang percaya kalau bumi itu datar)
Dalam perkembangannya, media sosial punya peran yang cukup besar dalam terciptanya teori konspirasi. Pertama, era media sosial turut menandai awal era keterbukaan informasi. Kalau dulu sumber informasi cuma datang dari media massa yang terverifikasi, kini seorang individu pun bisa jadi penyampai kabar lewat akun medsos yang ia miliki, terlepas dari benar atau tidaknya kabar tersebut.
Era medsos juga dikenal sebagai the death of expertise atau masa kematian para ahli. Zaman dulu, tak sembarang orang berani mengemukakan pendapat terkait suatu fenomena. Kanal yang terbatas serta konsekuensi yang besar seolah jadi seleksi sebelum orang merasa dirinya pantas berpendapat, sehingga hanya mereka yang ahli di bidangnya yang berani angkat suara. Kondisinya berbeda dengan masa kini, di mana semua orang berpendapat tentang segala hal, bahkan kalau hal itu bukan keahliannya sekalipun.
Sistem lini masa medsos yang nggak lagi mengurutkan unggahan sesuai waktu unggah, melainkan lewat pola algoritma semakin memperparah persebaran teori konspirasi. Algoritma medsos akan membaca kecenderungan konten yang kita sukai. Kalau kita suka topik A, maka medsos lewat algoritmanya akan mengatur sedemikian rupa hingga kita terus-menerus melihat topik A itu di lini masa. Ketiadaan topik pembanding membuat seseorang terjebak di dalam gelembung bias yang nantinya menimbulkan efek bumerang atau backfire effect, yaitu kecenderungan untuk menolak ide yang bertentangan dengan keyakinan.
Sekarang ngerti kan kenapa penganut teori konspirasi di medsos pada ngotot-ngotot?
Teori konspirasi menyangkut pandemi Covid-19 sangat banyak bertebaran di berbagai medium. Kondisi tersebut muncul karena beberapa orang punya kecenderungan untuk sulit percaya pada kejadian skala besar yang disebabkan oleh hal kecil. Situasi ini juga disebut sebagai proportionality bias.
" Pandemi yang kini terjadi berasal dari mutasi sekecil virus yang bahkan tidak bisa dilihat dan dirasakan keberadaannya, tapi efeknya sangat besar. Hal itu dirasa tidak benar sehingga orang akan mencari penjelasan yang dirasa lebih proporsional dengan besarnya kejadian," ujar Roland Imhoff lebih lanjut.
Kasarnya, teori konspirasi muncul karena manusia nggak begitu aja percaya kalau wabah sebesar Covid-19 ini 'cuma' disebabkan oleh virus, yang bahkan keberadaannya aja sulit untuk dilihat secara kasat mata. Masa sih pandemi ini cuma terjadi gara-gara virus yang muncul dari orang yang makan kelelawar? Akhirnya, kita pun mencari-cari penyebab lain yang dirasa lebih sebanding dengan efek yang dihasilkan, misalnya elit global.
Uhuk.
Masa pandemi di era media sosial ini sepertinya jadi kombinasi yang cukup dahsyat. Nggak cukup melawan virus yang sedang menyebar, kita jadi dapat tugas tambahan untuk memerangi kabar-kabar palsu dan berbagai teori konspirasi. Tantangan kayak gini mungkin nggak terjadi di masa-masa pandemi flu spanyol.
Well, teori konspirasi memang kadang terasa masuk akal dan sangat menggoda untuk dipercaya. Meski begitu, sebaiknya kita nggak menjadikannya sebagai satu-satunya patokan dalam memahami sesuatu. Sebab, nggak sedikit lho teori konspirasi yang sifatnya masih layak diperdebatkan. Beberapa bahkan berakhir sebagai hoax semata, seperti teori yang menyebut kartun 'The Simpsons' sebagai produk Iluminati karena kemampuannya meramal masa depan di beberapa episode.
Punya pendapat sendiri memang boleh, tapi ada baiknya kita tetap mendengarkan pendapat mereka yang lebih ahli. Toh apa yang diungkapkan oleh ahli pasti berasal dari penelitian yang punya dasar akademis dan persentase kebenarannya lebih tinggi dibanding teori cocokologi yang dicuitkan oleh akun anon random beravatar kucing dengan username angka-angka di Twitter kan?
Jerinx SID selalu meminta followers-nya untuk menyeimbangkan kolom komentar. Kalau gitu, sebaiknya kita juga menyeimbangkan isi kepala dengan nggak cuma mengonsumsi teori konspirasi, tapi juga hasil penelitian para ahli.
(emoji api-api)