© Shutterstock
Hidup memang tak seindah seperti yang dibayangkan. Orang-orang yang terlihat begitu bahagia di media sosial pun sebenarnya bisa jadi mengalami stres untuk masalah yang sedang dihadapinya. Benar gak? Kamu juga begitu?
Salah satu cara mengelola stres yang ampuh memang adalah dengan menceritakannya. Entah itu teman, kekasih, atau pun keluarga. Tapi, sebagian orang ada yang tak tahu harus bercerita atau berkonsultasi ke mana agar mendapatkan penanganan yang tepat. Nah, di sinilah peran psikolog atau psikiater hadir.
Namun sayang sekali, ada stigma masyarakat yang kuat, bahwa orang-orang yang pergi ke psikiater itu gila. Banyak orang yang kemakan dengan stigma ini, dan akhirnya stres itu berakhir dipendam sendiri karena gengsi. Stigma masyarakat yang satu ini pun diakui oleh dr. Andri, Sp.Kj, FAPM, seorang psikiater alias Dokter Spesialis Kedokteran jiwa selama 12 tahun. Kini, ia bekerja di Omni Hospital Alam Sutera, Serpong.
" Namun karena stigma masyarakat yang kuat memang dari dulu, dikatakan problem yang berkaitan dengan masalah kejiwaan jadi dianggapnya kegilaan. Makanya orang seringkali takut, disuruh ke dokter jiwa atau psikiater, dia bilangnya 'Wah, kok gua disuruh ke psikiater? Emang gua gila!' gitu," jelasnya.
Padahal, menurut dokter yang juga seorang dosen ini, anggap ini ini keliru. ODGJ, orang dengan gangguan jiwa, diartikan sebagai gila. Padahal, mereka itu hanya salah mengartikan. Tak semua yang berhubungan dengan masalah kejiwaan diartikan sebagai orang gila.
" Ini fenomena menarik sih sebetulnya. Karena sebenernya, orang yang mengalami gangguan kejiwaan itu, apapun jenisnya, skizofrenia, yang orang awam bilang gila, depresi, gangguan cemas, gangguan kepribadian, itu semuanya disebut ODGJ (Orang Dengan Gangguan keJiwaan). Masalahnya orang tuh menganggap orang ODGJ atau orang dengan gangguan jiwa itu disangkanya cuma gangguan yang berkaitan dengan kegilaan."
Dr. Andri juga menambahkan, masalah kejiwaan itu tak terkecuali dengan gangguan belajar maupun masalah emosional dengan pasangan.
" Padahal sebenernya orang dengan gangguan belajar, orang dengan gangguan emosional terkait dengan pasangannya, atau dengan kondisi masa berkabung, itu juga sebenernya bisa ke psikiater."
Ada juga orang yang sudah mempunyai pikiran, apakah sudah seharusnya pergi ke psikiater? Mereka ini masih maju mundur. Masih mempertanyakan diri sendiri: di titik apa seharusnya mereka pergi ke psikiater?
Nah, dr. Andri pun menjelaskan di titik apa seseorang seharusnya sudah harus pergi ke psikiater.
" Sebenernya berbicara perlu tidaknya konsultas adalah kalau kita merasa ada gangguan pada pikiran, perasaan dan perilaku kita, yang menganggu kehidupan pribadi dan sosial. Kalo misalnya itu menganggu, nggak berfungsi, maka itu adalah tanda-tanda. Jadi kalau kamu nih banyak mikiriin ampi nggak bisa kemana-mana, takuut terus, nah itu berarti kamu membutuhkan bantuan psikologis. Baik dari dokter jiwa, ataupun dari psikolog juga bisa."
Kamu juga mungkin bertanya-tanya, apakah seorang dokter jiwa juga perlu untuk psikiater, seperti dr. Andri misalnya?
Dr. Andri menjawab bahwa ia sebenarnya mempunyai teman bicara yang juga seorang profesional, meskipun topiknya masih berkaitan dengan pekerjaan. Namun, sejauh ini ia masih memerlukan konsultasi dengan dokter. Beliau masih bisa mengatasi dirinya sendiri.
" Nah kalau saya sendiri saya punya teman untuk berbicara gitu ya. Seorang profesional juga, psikiater juga. Tapi emang lebih ke urusan pekerjaan sih. Jadi jarang berbicara tentang hal yang pribadi gitu misalnya. Untuk itu masih belum memerlukan. Jadi masih bisa self-reflection, mindfullness. Saya masih bagus, masih bisa jalankan sendiri."
Bisa juga tuh mencoba apa yang dilakukan dr. Andri, seperti self-reflection dan mindfullness sebelum benar-benar pergi ke psikiater.
Nah guys, jadi sudah paham bahwa stigma masyarakat yang mengatakan pergi ke psikiater itu berarti orang gila tidaklah benar. Jika merasakan gangguan kejiwaan yang bisa mempersulit kehidupan sehari-hari, tak ada salahnya untuk pergi berkonsultasi ke psikolog atau psikiater, ya!