© Journal.sociolla.com
Kamu pasti pernah mendengar:
"Semangat, ya! Kamu pasti kuat!"
"Pasti ada sebuah alasan kenapa hal ini terjadi. Ambil positifnya aja."
Atau, "Masih ada yang lebih menyedihkan dari kamu. Nggak usah sedih gitu, dong!"
Emang, dalam keadaan yang terpuruk, kata-kata penyemangat bisa jadi mantra manjur untuk sebagian orang.
Tapi, tergantung juga. Untuk beberapa orang, kata-kata penyemangat yang menyuruh kita agar terus berpikiran positif justru bisa bisa bikin perasaan seseorang nggak nyaman, bahkan lebih hancur.
Sebelum membahas kenapa kamu harus segera menyingkirkan toxic positivity, entah itu ada pada dirimu atau di sekitarmu, lebih baik kita bahas dulu apa itu toxic positivity agar kita nggak salah kaprah.
Dirangkum dari The Psychology Group, toxic positivity merupakan menggeneralisasi semua keadaan berlebihan agar selalu bersikap dan berpikiran positif di segala keadaan dan kondisi.
Intinya toxic positivity berupa penyangkalan atas segala emosional manusia, padahal kita tahu perasaan manusia bukan hanya melulu tentang bahagia.
Dengan menutupi atau membungkam perasaan kita, misalnya ketika sedih kita dicekokin dengan kata-kata positif, itu hanya akan menjadi racun buat kita.
Dr. Allison, seorang psikologis klinis berlesensi, menegaskan:
" Kenyataannya kehidupan seseorang bisa sangat berat dan menyakitkan. Rasa sakit, khawatir, patah hati, ketakutan merupakan hal yang normal dan memang begitulah manusia. Makanya, perasaan-perasaan itu penting untuk dirasakan, dan penting untuk diungkapkan."
Padahal seharusnya, ketika seseorang merasakan sesuatu, entah itu sedih, kesal, atau cemburu, perasaan itu seharusnya dilepaskan, bukan malah dikekang dengan kata-kata positif yang toxic, yang memaksa kita agar terus bahagia.
Menurut Dr. Allison, kehadiran toxic positivity seakan nggak bakal memberi ruang untuk perasaan-perasaanmu yang lain. Orang dengan toxic positivy berpikir bahwa perasaan selain bahagia adalah sesuatu yang buruk.
Pahadal, dilansir dari Shine, sebuah penelitian justru mengungkapkan bahwa terlalu berusaha mengejar kebahagian akan membuat kita semakin jarang merasa bahagia.
Ketika mempunyai toxic positivity, kamu hanya akan semakin membuat orang-orang yang kamu pedulikan merasa nggak nyaman, bahkan merasa lebih merasa sakit. Padahal, tentu saja kamu nggak berniat untuk demikian.
Intinya, orang dengan toxic positivity terlalu menyederhanakan segala hal. Mereka menyepelekan perasaan manusia yang lainnya. Makanya, orang dengan toxic positivity sering banget mengeluarkan kata-kata: " Tenang, semuanya bakal baik-baik saja. Nggak ada yang perlu kamu khawatirkan."
Terus, gimana cara agar kamu tahu kalau kamu itu seseorang dengan toxic positivity? Menurut Dr. Allison, ada 3 hal yang bisa kamu perhatikan.
Pertama, kamu menganggap semuanya dianggap mudah. Kalau ada kejadian yang nggak mengenakan yang terjadi pada dirimu atau kerabatmu, kamu cenderung mengungkap: " Tenang, semua akan baik-baik saja." Padahal, perasaan kamu atau temanmu itu sedang lagi sakit-sakitnya.
Kedua, nggak ada kata-kata yang membuat kamu atau teman kamu bakal menerima rasa sakit. " Jangan terus bersedih," atau, " Ngapain sakit hati. Nggak ada gunanya. Bahagia, lah!" Asli, kata-kata gini cuma bakal temanmu makin jengkel sama kamu.
Ketiga, kamu menggunakan kata-kata semacam 'segalanya' atau 'nggak ada yang'. Kalimat yang sering diucapkan oleh orang dengan toxic positivity adalah " Semuanya bakal baik-baik aja. Semuanya terjadi karena sebuah alasan. Tenang aja, blalala."
Emang kamu beneran yakin semuanya bakal baik-baik saja? Nggak, kan? Kalau sudah gini, kamu malah jadi toxic.
Menurut The Psikologi Today, orang dengan toxic positivy setidaknya bisa berdampak:
Ketika kamu didorong untuk selalu berpikir positif, kamu akan menjadi takut untuk berpikir dan merasakan hal negatif. Kamu akan selalu menolak dan mengabaikan pemikiran dan perasaan tersebut kalau saja sewaktu-waktu datang. Kalau sudah begini, kamu hanya akan merasakan kecemasan yang berlebihan.
Ketika kamu menyangkal pikiran dan perasaan negatif, kamu hanya akan memendamnya di dalam dirimu sendiri. Ketika hal ini terjadi, kamu akan cenderung menampakan wajah palsu kepada dunia, bahwa kamu baik-baik saja dan adalah seseorang yang terus tersenyum.
Toxic positivity, dengan kata lain kamu takut dengan dirimu sendiri. Kamu menjadi takut untuk mengungkapkan apa yang kamu rasakan. Kalau kamu saja takut dengan diri kamu sendiri, gimana kamu bisa bersosialisasi dengan orang lain? Bsa-bisa, kamu menjadi mengisolasi diri.
Menurut Shine, ada beberapa hal yang bisa kamu lakukan untuk terhindar dari toxic positivity.
Beginilah yang seharusnya terjadi. Ketika sebuah perasaan menghampirimu, sudah seharusnya kamu menerimanya dengan baik. Sebab, semakin kamu melawannya, semakin berbahaya untuk dirimu.
Begitu pula dengan sebaliknya. Dengan menerima perasaanmu dengan baik, emosimu akan berjalan dengan semestinya.
Cobalah untuk mengatakan pada diri kamu: " Hari ini benar-benar kacau dan menyedihkan, ya," dan beberapa hal semacamnya.
Manusia terlalu merasa bahagia? Itu mustahil. Setiap manusia pasti pernah merasakan emosi-emosi negatif seperti sedih, khawatir, dan lainnya. Dengan menanamkan minset ini, kamu akan belajar untuk menerima, merasakan, dan menjalankan emosi negatifmu itu dengan benar.
Beth Jacobs, Ph.D, di dalam bukunya Emotional Balance: A Guided Journal to Help You Manage Overwhelming Emotions, mengungkapkan bahwa metode terbaik untuk menerima segala emosi kita adalah dengan menulis jurnal, atau biasa kita sebut dengan diari.
Nah, coba pikir-pikir kembali: Apakah kamu termasuk orang dengan toxic positivity? Kalau iya, sebaiknya kamu buang jauh-jauh segera sikap tersebut.
Semoga bermanfaat, ya!