© Shutterstock
Beberapa waktu lalu, viral potongan video mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) diusir dosen gegara mengaku dirinya bukan laki-laki maupun perempuan (non-biner, non-binary, atau gender neutral) di hadapan publik saat momen ospek.
"Dia pake kipas angin jalan kaki terus dilarang. Terus ditanya laki-laki atau perempuan, terus dia bilang netral, bukan laki-laki bukan perempuan," kata Wakil Rektor III Fakultas Hukum Unhas Hasrul.
Melansir Medical News Today, orang non-biner tidak mengkonseptualisasi identitas gendernya dalam istilah biner, yaitu laki-laki atau perempuan. Konsep non-biner mengacu pada gagasan bahwa identitas gender lebih berbentuk spektrum daripada oposisi biner. Alhasil, bisa jadi seseorang mengidentifikasikan dirinya di luar spektrum tersebut.
Organisasi psikiater profesional di Amerika Serikat (AS), American Psychiatric Association (APA), sudah menghapus identitas gender, termasuk non-biner, sebagai kondisi gangguan mental yang bisa didiagnosis layaknya 'disforia gender'.
Mengingat, kondisi mental 'disforia gender' tidak terbatas orang dengan identitas transgender, non-biner, maupun identitas gender lainnya. Siapa pun bisa mengalaminya.
Kini, sejumlah negara bagian Amerika Serikat, termasuk Colorado dan California, telah menyertakan 'non-biner' sebagai opsi pada dokumentasi resmi termasuk Surat Izin Mengemudi (SIM).
Psikiater dr Lahargo Kembaren SpKJ dari RSJ Marzoeki Mahdi Bogor menjelaskan dalam identitas gender, orang non-biner tidak mengidentifikasi dirinya baik sebagai wanita atau pria. Identifikasi gender pun dipahami sebagai kesadaran seseorang terkait gendernya sendiri, bisa serupa dengan seks atau jenis kelamin saat dia lahir atau sepenuhnya berbeda.
" Faktor-faktor yang mempengaruhi identitas seksual atau identitas gendernya, seperti salah satunya menjadi netral atau non-biner, bisa apa saja," jelasnya, melansir Detik.
" Itu pertama faktor biologis, memang secara kromosom atau secara genetik mempengaruhi seksualitasnya, kedua faktor psikologis, mental kejiwaan seseorang, pikiran, mood, dan perasaan yang bersangkutan bisa mempengaruhi," imbuh dr Lahargo.
Nah, kalau menurut pendapat kalian sendiri gimana?