© Shutterstock
Jika ada generasi yang paling mendapat sorotan belakangan ini selain Generasi Milenial, maka Generasi Z adalah jawabannya.
Generasi Z alias Gen Z adalah sebutan untuk mereka yang lahir dalam rentang waktu 1995-2010. Sebagian besar Gen Z yang lahir di tahun-tahun awal kini tengah menapaki masa-masa dewasa awal. Tak sedikit dari mereka mulai membangun karir dan terjun ke dunia profesional.
Peran berbeda mendatangkan masalah baru juga. Generasi pasca Milenial ini kerap disebut sebagai generasi yang sangat rentan secara finansial. Gen Z memang kerap kali berada dalam kesulitan dalam mengelola keuangan. Cap boros sampai gengsian pun tersemat dari para generasi pendahulu.
Lalu, sebenarnya apa sih masalah keuangan yang paling sering dihadapi oleh Gen Z? Yuk simak ulasan berikut!
Gen Z lahir sebagai native technology. Artinya, mereka yang lahir sebagai Gen Z tumbuh besar dengan kemajuan dunia teknologi, termasuk di dalamnya media sosial.
Kondisi ini sedikit banyak membuat fokus prioritas Gen Z dalam mengatur keuangan jadi sedikit kabur. Baru berniat menabung, eh toko online yang kita follow di Instagram bikin program diskon. Baru mau belajar investasi, eh tergoda review gadget dari YouTuber tekno favorit.
Susunan prioritas yang kurang jelas ini membuat Gen Z kerap membolak-balik antara kebutuhan dengan keinginan. Suatu barang yang sebenarnya tergolong sebagai keinginan diperlakukan sebagai kebutuhan, pun begitu sebaliknya.
Seperti disebutkan di awal artikel, sebagian besar Gen Z kini tengah menapaki masa awal di dunia kerja. Mayoritas Gen Z pun mengalami masa gajian untuk pertama kali.
Salah satu kesalahan yang umum dilakukan oleh Gen Z sebagai seorang first jobber adalah adanya kenaikan yang sebanding antara pemasukan dengan pengeluaran. Kondisi ini sangat berkesinambungan dengan poin awal di mana Gen Z memiliki fokus prioritas yang kabur.
Saat mengalami kenaikan gaji, sebagian besar orang cenderung ikut menaikkan pengeluarannya karena merasa diri layak untuk mendapatkan hal tersebut. Padahal, dengan pola seperti itu maka kestablian finansial akan lebih sulit untuk diraih. Kuncinya ada pada penetapan batas maksimal pengeluaran, terlepas dari kebutuhan yang benar-benar mendesak, berapapun kenaikan pemasukannya.
Tak semua kesulitan finansial yang dialami oleh Gen Z datang dari diri sendiri. Beberapa datang dari faktor eksternal seperti membeli rumah.
Pembelian rumah masuk sebagai tujuan jangka panjang cukup sulit untuk diwujudkan oleh Gen Z, terutama yang bergaji pas-pasan. Sebagai kebutuhan primer, harga rumah semakin lama semakin melambung, membuat kepemilikan rumah untuk Gen Z jadi makin sulit dijangkau.
Kendati demikian, bukan berarti Gen Z akan jadi generasi tak berumah. Tetap ada beberapa opsi, menabung untuk DP rumah dalam jangka lima tahun misalnya. Selain itu, opsi KPR dengan target rumah sederhana yang makin menjamur juga bisa dipertimbangkan.
Masalah lain yang juga sering dialami oleh Gen Z adalah bagaimana kita dituntut untu tak hanya fokus pada pertumbuhan finansial diri sendiri, namun juga keluarga. Kondisi yang juga umum dialami Generasi Milenial ini membuat kita disebut sebagai Generasi Sandwich. Pada akhirnya, perlu dilakukan kompromi agar segala kebutuhan bisa dipenuhi.
Masalah terakhir sangat berkaitan erat dengan keberadaan media sosial. Dengan adanya medsos, kita jadi bisa terhubung 24 jam dengan banyak orang.
Lewat cuitan di Twitter kita tahu seorang teman sedang melakukan rapat branch manager regional Asia dari perusahaan multinasional tempat ia bekerja. Di Instastory kita lihat teman yang lain sedang menunjukkan grafik sahamnya yang terus melambung. Belum lagi keberadaan YouTuber yang sedang pamer nominal rupiah di rekeningnya.
Tanpa disadari, keberhasilan finansial orang lain ini akhirnya ikut mempengaruhi diri kita dalam menumbuhkan keuangan sendiri. Alih-alih termotivasi, kita justru jadi semakin tertekan. Ada baiknya kita tetap fokus dengan tujuan pribadi dan tak terlalu sibuk mengurusi hal-hal lain yang terlalu jauh.