© Shutterstock
Perkembangan media sosial memang membawa banyak kemudahan. Namun segala kemudahan itu juga dibarengi dengan banyak tantangan baru.
Misalnya saja munculnya sebuah sindrom baru yang dipengaruhi oleh kehadiran media sosial. Sindrom FOMO adalah nama sindrom tersebut.
FOMO merupakan kependekan dari Fear of Missing Out. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh ilmuwan Inggris, Dr. Andrew K. Przybylski. FOMO juga telah tercantum sebagai istilah resmi dalam Oxford English Dictionary sejak 2013.
Kalau dicari padanan istilahnya dalam Bahasa Indonesia, FOMO bisa disebut sebagai 'takut ketinggalan'. Ketinggalan yang ditakutkan dalam hal ini adalah ketinggalan akan tren, berita, dan segala hal yang sedang ramai diperbincangkan mayoritas orang.
FOMO sendiri telah digolongkan sebagai gangguan mental karena dapat menimbulkan rasa cemas dan takut yang berlebihan.
Salah satu wujud dari sindrom FOMO adalah ketika seseorang punya dorongan kuat untuk tampil serupa dengan apa yang dia lihat di media sosial.
Gejalanya biasa dimulai dari ketergantungan berlebih terhadap layar ponsel. Nggak ada waktu barang sedetik untuk nggak mengakses media sosial lewat ponsel pintarmu.
Mereka yang diduga menderita FOMO juga biasanya punya kecenderungan untuk lebih peduli dengan apa-apa yang terjadi di media sosial ketimbang di sekelilingnya.
Mulai terobsesi dengan kehidupan orang-orang yang kamu lihat di media sosial? Hati-hati karena itu juga merupakan salah satu gejala sindrom FOMO.
Sindrom FOMO akan sangat menguras pikiran dan tenaga karena yang ada dalam dirimu hanyalah obsesi untuk nggak ketinggala satu hal pun yang sedang tren.
Akhirnya, segala cara akan kamu coba untuk mengejar tren-tren tersebut.
Lebih jauh lagi, sindrom FOMO juga akan memengaruhi kondisi finansialmu. Tingkatan prioritasmu menjadi kabur karena adanya kebutuhan untuk mengejar sesuatu biar nggak dibilang kudet alias kurang update oleh sekeliling.
Misal, sekarang lagi tren sepeda. Semua orang main sepeda dan mengabadikannya di media sosial masing-masing.
Kamu yang nggak mau ketinggalan akhirnya memilih untuk bersepeda juga. Ketimbang memanfaatkan sepeda kumbang yang ada di gudang dan sudah lama tidak kamu naiki meskipun masih layak, kamu memilih untuk beli sepeda lipat yang harganya setara dengan tiga kebutuhan pokokmu.
Secara logika, kita mungkin bisa tau kalau pembelian sepeda lipat demi mengejar tren bukanlah sesuatu yang mendesak dan masuk akal. Namun sindrom FOMO menyerang ke sisi lain, yakni psikologis, yang akhirnya mengalahkan logikamu.
Kantong jebol demi nggak ketinggalan tren adalah sesuatu yang layak bagimu, tapi berapa lama kebahagiaan itu bertahan?
Pada akhirnya, masalah sindrom FOMO adalah sesuatu yang sangat kompleks. Berbagai aspek kehidupan dapat terpengaruh olehnya, mulai dari psikologis, sosial, sampai finansial.
Kalau kamu sudah merasakan keberadaan tanda-tanda FOMO dalam dirimu, mulai berusaha kontrol hal tersebut, sebelum kamu yang nantinya balik dikendalikan.
Selalu bijak dalam menentukan prioritasmu, ya!