© Insider.com
Barang A harganya Rp 17.500, barang B Rp 16.899. Hmm, beli barang B aja lah, lebih murah.
Sering merasakan pertimbangan-pertimbangan seperti di atas?
Kamu pasti pernah kan melihat iklan apartemen yang disebut murah dengan harga hanya Rp 999.999.000 saja. Atau barang-barang di minimarket yang memiliki nominal 900 rupiah di belakangnya.
Rupanya, penentuan harga tersebut nggak sembarangan dilakukan. Bahkan peletakan harga "aneh" itu termasuk dalam strategi penjualan, lho.
Odd pricing atau harga ganjil adalah nama strategi tersebut. Untuk apa sih penjual menerapkan harga aneh yang, kalau dipikir secara sederhana, tidak memberi keuntungan signifikan?
Eits tunggu dulu. Sebelum berpikir demikian, kamu harus tau bahwa dasar penerapan odd pricing adalah untuk memengaruhi psikologis pembeli.
Seperti dalam ilustrasi di awal artikel, barang serupa dengan selisih harga yang sebenarnya hanya beberapa puluh atau ratus rupiah saja ternyata dapat memengaruhi keputusan pembelian.
Nominal harga Rp 17.500, dengan Rp 16.899 sebenarnya hanya berjarak 601 rupiah saja--bahkan ada satu rupiah yang nyangkut di sana.
Terlepas dari selisih yang nggak seberapa, namun dari sudut pandang pembeli, barang yang mempunyai harga Rp 16.899 terasa lebih murah dibandingkan Rp 17.500 karena pembeli lebih fokus pada nominal yang ada di depan, 16 dan 17 ribu.
Penggunaan odd pricing ini adalah hal yang lumrah di pasaran. Judith Holdershaw dalam risetnya menyebut bahwa di New Zealand, sebanyak 90% harga barang diakhiri dengan digit di atas 5, sementara sebanyak 60% dari jumlah tersebut diakhiri dengan angka 9.
Nggak usah merasa tertipu karena strategi ini. Setidaknya sekarang kamu jadi tau alasan dibalik penyematan harga aneh pada produk kan?
Toh dalam kepalamu, kamu tetap merasa untung karena merasa dapat barang dengan harga " lebih murah" . Hehe.