© TvN
Drama Korea (drakor) 'Start Up' belakangan ini banyak jadi bahan perbincangan. Baru saja mengakhiri penayangannya pada 6 Desember 2020 lalu, drama yang dibintangi Bae Suzy dan Nam Joo Hyuk ini sukses menarik perhatian, tak hanya dari pecinta drakor namun juga kalangan umum.
Latar belakang cerita yang menggunakan kehidupan perusahaan startup sebagai pengantar plot terasa sangat menarik, sehingga tak hanya kisah cinta khas drakor saja yang muncul, namun juga intrik-intrik seputar bisnis dan perpolitikan antar pejabat perusahaan.
Tokoh Seo Dal Mi yang diperankan oleh Suzy menjadi salah satu yang paling banyak mendapat sorotan. Dal Mi dikisahkan berasal dari keluarga miskin, namun memiliki mimpi besar untuk menjadi Steve Jobs dari Korea.
Di luar kisah tersebut, ada satu hal yang membuat Dal Mi menjadi semakin disorot, yakni penampilan yang dianggap tak mencerminkan latar belakang ekonominya.
Dalam beberapa kesempatan, Dal Mi memang sering terlihat menenteng tas-tas branded. Mulai dari Loewe, Valextra, sampai Dior pernah ditenteng olehnya. Pemandangan ini tentu membuat para penonton merasakan keganjilan. Katanya miskin, kok barang fashion-nya mewah?
Sebelum menyelami lebih dalam tentang apa penyebab kekontrasan kondisi finansial Seo Dal Mi dengan penampilannya, kita harus terlebih dahulu menilik bagaimana kondisi ekonomi para pekerja di Korea Selatan.
Gaji minimum pekerja di Korea Selatan pada 2020 secara nasional--tidak ada upah minimum per kota seperti di Indonesia--adalah 68.720 won per hari (8 jam) atau setara dengan Rp 883.528.
Artinya, dalam sebulan para pekerja di Korea Selatan sana akan mendapatkan sekitar Rp 26,5 juta. Nominal yang cukup besar untuk ukuran Indonesia, namun tetap terasa sesak untuk warga Korea Selatan. Selain karena biaya hidup yang jelas lebih tinggi, kondisi tersebut juga merupakan pengaruh perbedaan prioritas hidup warga Korea Selatan.
Sebuah fakta terungkap, bahwa apa yang nampak pada diri Dal Mi--yang miskin namun memiliki barang-barang branded--rupanya adalah sebuah potret realita muda-mudi di Korea Selatan sana.
Dikutip dari Foreign Policy bahwa kebiasaan tersebut dinamakan " shibal biyong" alias " pengeluaran bodoamat" . Shibal biyong adalah istilah yang menggambarkan pengeluaran yang sebenarnya tidak penting, tapi dapat membantu untuk membuat hari jadi lebih menyenangkan.
Shibal biyong berkaitan erat dengan kebiasaan anak muda di Korea Selatan yang cenderung tidak suka menabung. Uang yang didapat akan digunakan sepenuhnya untuk hidup dan memenuhi gaya hidup. Gaya hidup dalam hal ini termasuk barang fashion, elektronik, dan hobi, yang digolongkan sebagai kebutuhan prioritas.
Kalau bergonta-ganti smartphone di Indonesia merupakan sebuah kemewahan, maka di Korea Selatan hal yang sama sudah seperti menjadi sebuah keharusan.
Perbedaan ini lah yang nampak dari kehidupan anak muda di Korea Selatan dan Indonesia. Di sini, anak mudanya masih memiliki keinginan untuk menabung atau berinvestasi untuk kebutuhan masa depan seperti menikah dan memiliki rumah.
Sementara itu, menikah bagi anak muda Korea Selatan bukanlah tujuan utama. Berstatus single di usia 30-an masih jadi hal yang lumrah. Beberapa selebritinya bahkan masih betah hidup sendiri di usia 40 tahun.
Memiliki rumah pun sudah tidak menjadi tujuan utama untuk para anak muda Korea Selatan sebab harga properti yang semakin lama semakin melambung. Dilansir dari Reuters, harga rumah di Kota Seoul telah meningkat hampir tiga kali lipat sejak tahun 2017. Sebagai perbandingan, kenaikan harga rumah rata-rata secara internasional tidak sampai dua kali lipat jika dihitung dari rentang waktu yang sama.
Penjelasan di atas mungkin sedikit memberi alasan tentang keberadaan barang-barang mahal di kehidupan Seo Dal Mi yang tak tergolong masyarakat berkecukupan.
Jadi kalau kalian masih beranya, kenapa Dal Mi bisa punya tas Dior, mungkin barang tersebut adalah pelarian karena dia nggak kunjung bisa beli rumah dan kehidupan asmara yang masih belum jelas, setidaknya sebelum mencapai ending.