Sunk Cost Fallacy, Wujud Toxic Relationship dalam Konsep Keuangan

Reporter : Firstyo M.D.
Senin, 8 Februari 2021 18:40
Sunk Cost Fallacy, Wujud Toxic Relationship dalam Konsep Keuangan
Tetap dipertahankan padahal tau kalau bakal rugi. Yuk kenalan dengan konsep sunk cost fallacy.

Istilah toxic relationship alias hubungan beracun umumnya digunakan ketika kita membicarakan tentang masalah percintaan. Frasa itu kerap disebut untuk menggambarkan situasi percintaan yang merugikan salah satu pihak. Ironisnya, pihak yang dirugikan biasanya justru tak rela untuk melepaskan hubungan tersebut. Kondisi inilah yang membuatnya kemudian disebut sebagai hubungan beracun.

Meski lebih dekat dengan topik percintaan, rupanya toxic relationship juga terjadi di kehidupan keuangan kita lho. Dalam dunia keuangan, konsep toxic relationship melekat pada pola yang digambarkan oleh istilah sunk cost fallacy.

Apa itu sunk cost fallacy dan kenapa bisa disebut sebagai toxic relationship-nya dunia keuangan? Simak di pembahasan berikut ya, Diazens!

1 dari 4 halaman

Konsep Toxic Relationship

Sebelum memasuki pembahsan tentang apa itu sunk cost fallacy, kita lebih dulu mengenal konsep umum tentang apa itu toxic relationship. Toxic relationship merupakan kondisi di mana salah satu pihak dalam hubungan telah merasa dirugikan baik fisik maupun mental oleh pihak lainnya, namun tetap ingin meneruskan hubungan tersebut walaupun tau bahwa ada kerugian yang menanti di hadapan.

Ada banyak penyebab seseorang bertahan dalam toxic relationship. Namun alasan yang paling umum biasanya datang dari hal yang paling tak rasional, yakni merasa sudah terlalu banyak berinvestasi dalam hubungan tersebut. Waktu, uang, tenaga, dan perasaan yang tercurah dalam waktu tertentu membuat seseorang merasa berat untuk merelakan hubungan yang telah dibangun meski itu menyakitkan.

Konsep ini sangat mirip dengan kasus dalam hal keuangan yang akan kita bahas, yakni sunk cost fallacy.

2 dari 4 halaman

Apa Itu Sunk Cost Fallacy?

Layaknya toxic relationship, sunk cost fallacy terjadi pada keuangan seseorang saat ia memutuskan untuk melanjutkan suatu kegiatan meskipun tau akan merugi karena merasa terlanjur menginvestasikan banyak hal di masa lalu, mulai tenaga, waktu, sampai uang.

Untuk contoh kasus, bayangkan kamu sudah berencana untuk mengikuti sebuah event yang memungut biaya pendaftaran sebesar Rp 500 ribu. Rupanya, pada hari H kamu memiliki keperluan mendesak di lokasi yang berlainan arah dengan venue event.

Alih-alih membatalkan kedatang ke event, kamu tetap memaksa untuk melakukan dua kegiatan tersebut sekaligus, walaupun sebagai gantinya kamu harus menambah biaya ojek online sebesar Rp 150 ribu dan tak mengikuti event dari awal. Biaya tambahan yang kamu keluarkan karena sayang dengan investasi terdahulu sebesar Rp 500 ribu inilah yang menempatkanmu dalam sunk cost fallacy.

3 dari 4 halaman

Cara Menghindari Sunk Cost Fallacy

Sekilas, pengeluaran karena sunk cost fallacy memang tak terasa besar. Namun, jika dilakukan terus menerus, maka dampaknya juga akan terasa dalam hal pengelolaan keuangan pribadimu. Maksud hati menghindari satu lubang kerugian, eh malah tetap kejeblos ke lubang serupa, tapi beda tempatnya aja.

Untuk menghindari pengulangan sunk cost fallacy, cobalah untuk tak terlalu menganggap biaya yang dikeluarkan di masa lalu. Anggap pengeluaran tersebut sudah tak bisa kembali.

Kalau kamu masih merasa bakal merugi, coba hitung kembali deh total kerugian tambahan yang bakal kamu terima kalau kekeuh melakukan aktivitas tersebut. Terakhir, bandingkan pula dengan keuntungan yang kamu dapat dari aktivitas yang ingin kamu ikuti itu. Apakah kira-kira sepadan dengan kerugiannya?

4 dari 4 halaman

Ilustrasi kerugian

Perencanaan keuangan kerap kali dianggap sebagai sesuatu yang sangat logis. Sunk cost fallacy membuktikan bahwa untuk mengatur keuangan tak hanya diperlukan pemikiran yang matang, namun juga kekuatan mental dan kemampuan mengendalikan emosi.

Kalau bertemu kondisi serupa di kehidupan mendatang, sekarang kamu tau ya harus ngapain biar terhindar dari sunk cost fallacy?

Semoga membantu, Diazens!

Beri Komentar