© Psychologicalhealingcenter.com
Mayoritas orang di dunia ini memulai dan menjalani hubungan tanpa mengetahui bagaimana caranya. Kita semua pasti mencari alurnya sendiri dan menciptakan kebiasaan sendiri dalam hubungan yang kita jalani. Oleh sebab itu, seringkali kita nggak sadar kalau ada beberapa kebiasaan yang sebenarnya nggak baik untuk diteruskan.
Untungnya, seiring perkembangan zaman, bidang keilmuan juga semakin berkempang. Ilmu psikologi sudah membahas berbagai kelakuan manusia secara ilmiah, termasuk perilaku dalam sebuah hubungan. Seharusnya saat ini kita sudah bisa menjalani hubungan yang lebih logis, nggak sekedar memburu titel romantis.
Dilansir dari markmanson.net (18/01), berikut adalah empat kebiasaan toxic dalam hubungan yang sering dianggap normal.
Kontes adu benar ini sering terjadi pada sebuah argumentasi. Biasanya disebabkan oleh kedua belah pihak dalam hubungan sama-sama keras kepala. Saat nggak ada satu pun pihak yang cukup bijak dan berkepala dingin untuk merunut masalah, maka biasanya yang terjadi adalah saling ungkit kesalahan di masa lalu.
" Gara-gara kamu lama dandan kita jadi telat datang ke acaranya Rina."
" Kayak kamu nggak pernah telat aja. Ingat nggak waktu kita nggak jadi nonton konser One Direction gara-gara kamu salah ambil jalan dan jadi kejebak macet?"
" Tapi kamu...."
" Kamu dulu...."
Dst.
Ketimbang terjebak di obrolan yang melebar dan nggak berujung seperti ini, lebih baik kamu dan pasangan fokus pada sumber permasalahan utama dan mencari penyelesaiannya bersama.
Anggapan 'pasangan sejati akan saling memahami' agaknya sudah diartikan terlalu luas. Makna ungkapan tersebut dianggap sebagai tanda kalau pasangan akan selalu bisa menangkap segala keinginanmu tanpa kamu harus mengungkapkannya. Padahal, sesungguhnya pasanganmu bukanlah cenayang yang lahir dengan talenta menebak keinginan seseorang berdasarkan gelagatnya.
Memang, ketika pasangan bisa melakukan sesuatu yang kamu inginkan tanpa harus kamu bilang rasanya sangat senang sekali. Namun keberhasilan kejadian tersebut adalah 1:1000. Ketimbang selalu berharap pasangan bisa menebak kodemu yang berujung pada rusaknya mood, ada baiknya kamu dan pasangan menerapkan prinsip keterbukaan. Kalau ingin A katakan A. Komunikasi seperti ini cenderung lebih efektif dan nggak rawan konflik.
Memang kata 'putus' adalah kata yang dihindari dalam suatu hubungan. Nggak ada satu pasangan pun yang berharap ada kata tersebut sebagai pengakhir hubungan. Meski begitu, bukan berarti kamu bisa memanfaatkan kata 'putus' ini sebagai senjata untuk mengkritisi atau mengancam pasanganmu.
Kata 'putus' mulai salah digunakan saat kamu mengatakan, misalnya, " Aku nggak bisa bersama orang yang kalau pakai sepatu nggak pakai kaos kaki" . Padahal kamu sebenarnya bisa mengkritik dia secara langsung dengan " Kamu kalau pakai sepatu di dalamnya pakai kaos kaki dulu, dong" .
Kata 'putus' ada kata yang punya kesakralan layaknya ajakan untuk menjalin hubungan. Oleh karena itu, jangan gunakan di momen yang nggak sehrusnya.
Katakanlah kamu sedang menjalani hari yang buruk. Lalu di akhir hari, kamu punya kesempatan untuk bertemu atau sekedar berkomunikasi dengan pasanganmu. Pada saat itulah kamu lampiaskan segala emosi atas hal-hal yang menimpamu hari itu pada pasangan.
Kebiasaan seperti ini terhitung toxic karena menunjukkan keegoisanmu. Kamu melampiaskan emosi karena harimu yang buruk pada seseorang yang nggak tau apa-apa dan nggak layak menerima hal tersebut. Lagipula, saat kamu merasa harimu buruk, belum tentu hari pasanganmu lebih baik kan?
Kamu bisa menceritakan bagaimana jalannya harimu pada pasangan ketimbang sekedar marah-marah nggak jelas. Pasanganmu akan bisa lebih mengetahui tentang kondisimu. Kemungkinan untuk kamu menjadi lebih tenang juga terbuka lebar. Kalaupun kamu nggak bisa langsung bercerita, kamu bisa minta waktu sejenak untuk menstabilkan emosimu sendiri.