Bedah Ringan Profesi Bidan, dari Sejarah Sampai Stereotip Masalah Asmara

Reporter : Firstyo M.D.
Kamis, 24 Juni 2021 19:45
Bedah Ringan Profesi Bidan, dari Sejarah Sampai Stereotip Masalah Asmara
Emang bener bidan bakal selalu berpasangan sama aparat berseragam?

Hari Bidan Nasional diperingati setiap 24 Juni, yang di tahun 2021 ini jatuh pada hari Kamis (24/06/2021). Atas dasar apa tanggal tersebut dijadikan momen untuk memperingati salah satu profesi penting tersebut?

Ternyata, pemilihan tanggal 24 Juni sebagai Hari Bidan Nasional berkaitan erat dengan berdirinya Ikatan Bidan Indonesia (IBI), sebuah organisasi yang menaungi seluruh pelaku profesi bidan di negara ini. Dikutip dari laman resmi IBI, tanggal 24 Juni menjadi hari kelahiran untuk organisasi yang menaungi para bidan tersebut pada tahun 1951.

Pembentukan IBI saat itu diprakarsai oleh para bidan yang tinggal di wilayah Jakarta. Lewat konferensi bidan pertama, yang juga diadakan di Jakarta, dibentuklah IBI sebagai organisasi profesi yang menjadi landasan untuk menentukan arah perjuangan para bidan hingga kini.

Data keanggotaan pertama IBI mencatat jumlah 16.413 bidan sebagai anggota di tahun 1988. Grafiknya terus menanjak, hingga pada tahun 2019 diketahui jumlah anggota IBI mencapai 338.864 bidan. Perlu diketahui, angka tersebut didapat hanya dari bidan-bidan yang memiliki Kartu Tanda Anggota (KTA). Jumlah lebih besar kita dapat jika melihat bidan yang terdaftar di Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI), yakni sebanyak 658.510 bidan.

1 dari 6 halaman

Laki-laki Juga Boleh Jadi Bidan?

Dari ratusan ribu jumlah bidan di seluruh Indonesia, satu hal yang kita tahu pasti, nggak ada satu pun yang berjenis kelamin laki-laki. Ya, seluruh bidan yang ada di Indonesia bisa dipastikan adalah perempuan.

Eits, sebelum ada Diazens yang mencak-mencak karena merasa hal ini sebagai bentuk diskriminasi, ada baiknya kita cari tahu lebih dulu tentang pengertian bidan.

Ilustrasi bidan laki-laki

International Confederation of Midwives (ICM) sebagai organisasi bidan internasional nggak menyebut dengan spesifik soal gender tertentu yang boleh menggelutinya. ICM menjelaskan profesi bidan (midwife dalam Bahasa Inggris) sebagai seseorang (person) yang berhasil menyelesaikan program pendidikan bidan yang berdasarkan pada ICM Global Standards for Midwifery Education.

Sementara itu, IBI mendefinisikan bidan sebagai seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang diakui pemerintah dan organisasi profesi di wilayah Negara Republik Indonesia serta memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk diregister, sertifikasi, dan atau secara sah mendapat lisensi untuk menjalankan praktik kebidanan. Nggak dicetuskan tanpa dasar, deskripsi profesi bidan ini bahkan sudah diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 369/Menkes/SK/III/2007.

Dari dua definisi di atas, bisa disimpulkan bahwa secara internasional, nggak ada aturan khusus yang mengatur tentang gender apa yang boleh menjadi bidan. Bidan laki-laki adalah hal yang bisa kita temukan di luar negeri. Sementara itu, regulasi nasional menerapkan aturan yang lebih spesifik, yaitu cuma perempuan saja yang boleh jadi bidan.

Kalau begitu, ada nggak sih alasan spesifik tentang mengapa cuma perempuan yang boleh jadi bidan di Indonesia?

2 dari 6 halaman

Bidan Perempuan Berasal dari Budaya yang Mengakar

Hanna Namirah, seorang bidan asal Serang, Banten menuturkan bahwa alasan di balik standar bidan di Indonesia yang harus dijabat oleh perempuan adalah karena faktor budaya.

Kalau kita tarik mundur ke belakang, bidan memang merupakan salah satu profesi tertua di Indonesia. Sebab, proses persalinan sudah terjadi sejak dulu kala. Namun, sebelum profesi bidan dengan segala keilmuannya muncul, kita sudah lebih dulu mengenal orang-orang tertentu yang melakukan persalinan secara tradisional. Mereka ini biasa disebut dukun bayi, dukun beranak, atau paraji.

Dukun bayi, dukun beranak, dan paraji ini sudah lebih dulu mengerjakan pekerjaan para bidan. Segala hal mulai dari merawat kehamilan, menolong proses persalinan, sampai melakukan perawatan ibu dan bayi pasca melahirkan sanggup mereka tangani. Bedanya, dukun bayi, dukun beranak, dan paraji nggak punya bekal ilmu pengetahuan kayak para bidan di masa sekarang. Saat melakukan perawatan, mereka hanya mengandalkan naluri.

Hal itu nampaknya yang kemudian membuat peran pendamping persalinan lebih dominan dilakukan oleh perempuan, karena secara naluriah sesama perempuan bisa lebih saling memahami, walaupun hasilnya tetap nggak maksimal karena minimnya pengetahuan.

Hanna sendiri menceritakan pengalaman pribadinya saat bertemu paraji yang merupakan seorang laki-laki sepuh. Paraji laki-laki itu adalah satu-satunya yang pernah ia temui hingga kini. Artinya, alasan budaya memang masih jadi latar belakang yang kuat dalam mengatur siapa yang boleh dan tidak boleh menjadi bidan.

3 dari 6 halaman

Stereotip Bidan dalam Hal Asmara

Pasangan bidan dan tentara

Pos profesi bidan yang seluruhnya diisi oleh perempuan belakangan menimbulkan sebuah stereotip. Di media sosial, banyak yang menyebut bidan sebagai sosok idaman untuk jadi pendamping para aparat berseragam, entah polisi atau tentara. Tentu masih segar dalam ingatan kita bagaimana viralnya potret-potret pasangan bidan dan aparat yang asyik berfoto pre-wedding dengan mengenakan seragam kebanggaan masing-masing.

Di tangan netizen, bidan dan polisi bak dua balok Lego yang saling menemukan pasangannya. Satu profesi yang identik dengan kelemahlembutan bertemu profesi lain yang punya kesan gagah. Pas.

Walaupun terdengar seperti guyonan asal, tapi nyatanya anggapan ini cukup akurat, sebab kisah asmara bidan dan aparat jadi satu hal yang jamak kita temui.

4 dari 6 halaman

Penjelasan Rasional

Hanna kembali menuturkan pengamatannya sebagai seorang bidan. Ia coba merasionalkan stereotip yang melekat pada bidan ini lewat beberapa cocokologi berdasarkan pengalaman dan pengamatannya. Salah satu faktor yang memungkinkan terjadinya kedekatan antara bidan dan aparat adalah karena seringnya mereka bersinggungan saat melakukan aktivitas, bahkan sejak masih menempuh pendidikan.

" Di kampus saya dulu, ada program HIMA yang namanya sih training motivation. Biasanya kegiatannya, seminar + games outdoor. Tapi yang ini berbeda. Ada pembaharuan ceritanya. Kali ini kegiatannya latihan fisik dan mental di lingkungan terbuka yang dibina langsung oleh tentara-tentara muda," ungkap Hanna.

Skenario seperti ini mungkin bakal gampang banget buat ditebak alurnya. Lingkungan masing-masing yang dipenuhi rekan satu gender membuat tarik-menarik perhatian antara bidan dan tentara muda pun terjadi bak dua kutub magnet yang saling bertemu.

" Mahasiswa-mahasiswa bidan ini yang sumpek lihat perempuan melulu, siapa yang nggak semangat ketika ada program itu? Jadinya ya dua-duanya ini sama saja. Walaupun mereka tetap misuh-misuh jengkel karena dibentak-bentak, tapi toh ternyata pulangnya pada punya gebetan yang berhasil nyantol," lanjutnya.

5 dari 6 halaman

Lepas dari bangku sekolah, bidan dan aparat negara pun tetap banyak bersinggungan. Bidan dan polisi misal, keduanya memiliki satu program kerja yang sama untuk melayani masyarakat di level akar rumput.

Bidan desa mengabdi lewat pos pelayanan terpadu (posyandu) sementara polisi memiliki Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) yang juga mengemban tugas untuk mengayomi masyarakat di level desa dan kelurahan.

" Hal ini bisa memungkinkan terjadinya cinlok. Misalnya, polisinya kebetulan sedang bertugas di dekat lokasi bidannya Posyandu, terus love at first sight. Eaak," ujar Hanna.

Hmm, masuk akal juga ya.

6 dari 6 halaman

Terlepas dari cocokologi di atas, rasa-rasanya pengalaman tiap orang pasti berbeda. Walaupun sering terjadi, nggak ada teori absolut yang menegaskan bahwa bidan pasti akan berpasangan dengan aparat.

Masa iya sih seorang bidan akan dicoret keanggotaannya dari IBI kalau nggak dapat pasangan aparat berseragam? Sebaliknya, aparat pun juga nggak akan dihukum komandan karena nggak dapat pendamping seorang bidan kan?

Pada akhirnya, semua yang beredar di media sosial adalah asumsi umum. Pendapat pribadi sangat bisa berbeda hasilnya, apalagi kalau bicara soal cinta.

Beri Komentar