© Pexels.com/@zun1412
Munculnya pemberitaan akan adanya tindak kekerasan dalam hubungan tentu amat membuat jengah. Rupanya, bentuk-bentuk kekerasan dalam hubungan yang paling berbahaya justru bukan yang meninggalkan luka fisik.
Namun, hal ini menyoroti betapa mengerikannya kekerasan dalam sebuah hubungan, seperti kontrol koersif. Dilansir dari The List, tindak kekerasan itu memang tidak membuat luka pada fisik, tapi amat menyakitkan bagi mental.
Seorang analisis perilaku kriminal, Laura Richards mengatakan, kontrol koersif merupakan suatu bentuk kekerasan psikologis. Bahkan, perilaku ini disebut lebih membahayakan dari pelecehan emosional.
Meskipun tidak meninggalkan tanda-tanda fisik, berbagai macam pelecehan emosional itu justru sangat merusak bagi korban. Pelecehan emosional digunakan untuk menghancurkan harga diri korban dan menciptakan ketergantungan psikologis pada pelaku.
Pengondisian ketergantungan ini dilakukan melalui berbagai taktik. meraka akan melakukan penghinaan, rasa bersalah, gaslighting, dan mengisolasi korban dari teman atau keluarga.
Dikutip dari The Office of Women's Health, pelaku dapat memulai hubungan dengan banyak cinta dan perhatian. Termasuk, pujian dan permintaan untuk sering bertemu dengan pasangannya di awal suatu hubungan.
Tujuannya, membuat pasangannya merasa seperti mereka berdua melawan dunia. Jika pasangannya mencoba mengambil tindakan hukum, sang pelaku akan membuat pembelaan menggunakan pesan teks dan gambar yang menunjukkan korban tampak bahagia.
Para ahli telah membeberkan definisi dan menjelaskan dengan lebih baik apa itu bagi politisi, penegak hukum, dan korban akan tindakan komtrol koersif suatu hubungan. Laura Richards mendefinisikan kontrol koersif sebagai pola perilaku strategis yang dirancang untuk mengeksploitasi, mengontrol, menciptakan ketergantungan, dan mendominasi.
Richards menambahkan, hal ini juga dilakukan melalui micro-managing kehidupan korban menggunakan love bombing, gaslighting, kontrol ekonomi, dan isolasi.
Sementara itu, seorang pengacara percobaan karier dan pakar hukum pidana, Wendy L. Patrick menjelaskan, pelaku melakukan kontrol koersif ini melalui upaya untuk membuat diri mereka ada di mana-mana. Terutama, melalui pengawasan dan pelanggaran batas.
Nah, dalam kondisi hubungan heteroseksual, Patrick menambahkan perilaku ini dapat dilihat dengan memaksa korban untuk berperilaku dalam peran gender yang ditetapkan. Biasanya, pelaku akan meminta pihak perempuan dimanipulasi untuk meninggalkan karier mereka, lebih mengurus anak dan rumah.
Namun, penerapan kontrol koersif tidak terjadi dalam semalam saja ya. Richards memperingatkan, perubahan itu terjadi secara bertahap. Basanya, perilaku ini dimulai setelah pasangannya secara emosional terlibat dalam hubungan tersebut.
Seorang profesor di University of New Brunswick, Carmen Gill mengatakan, kontrol koersif dapat diringkas menjadi permainan kekuasaan. Perilaku ini dapat membuat pasangan dari pelaku merasa malu dan bersalah.
Ini disebut perasaan yang membuat korban terjebak dalam siklus pelecehan. Tapi, sering kali, korban tetap percaya bahwa mereka dapat mengubah pelaku. Mereka juga percaya bahwa apa yang dilakukan pelaku adalah menginternalisasi gagasan bahwa mereka pantas diperlakukan.
Laura Richards menegaskan, akibat kontrol koersif ini banyak korban pelecehan emosional mempertanyakan apa yang nyata dan apa yang tidak, serta merasa sulit untuk mempercayai persepsi mereka sendiri tentang realitas. Meski tidak ada luka fisik, PsychCentral menunjukkan banyak korban pelecehan emosional melaporkan gejala fisik, seperti nyeri tubuh kronis atau jantung berdebar-debar.
Laura Richards menyebutkan, bahaya dari kontrol koersif. Karena, biasanya korban altruistik dan berempati. Dalam kondisi ini, Richards memperingatkan orang-orang yang tertutup dan terisolasi sering kali menjadi target utama eksploitasi narsisis dan psikopat. Ketika pelaku kekerasan ini benar-benar menjangkau calon korban baru, penyiapan akan terjadi pada hari pertama kontak.
Melansir dari Psychology Today, pelaku kontrol koersif ini sering menyamar sebagai seseorang dengan sindrom 'Ksatria Putih'. Pelaku akan masuk dan menyelesaikan semua masalah korban.
Mereka mulai terlihat mendukung secara finansial hingga membantu pasangan merasa lebih aman melalui pengawasan di rumah mereka. Tapi, tujuan utama pelaku untuk mengisolasi dan mengontrol korban.
Richards juga menyebut, perempuan cenderung dibesarkan dalam masyarakat yang mempersiapkan mereka sejak usia dini untuk menjadi korban sempurna dari kontrol koersif. Dia juga menambahkan bahwa pria bagaimanapun tampaknya tidak dihakimi dengan cara yang sama.