© Shutterstock.com/g/
Love Hate Relationship adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan hubungan antara dua orang, di mana perasaan positif dan negatif terhadap satu sama lain muncul secara bergantian atau bahkan bersamaan. Perasaan positif ini berupa rasa cinta, sedangkan perasaan negatif ditandai dengan rasa benci.
Dalam konteks ini, seseorang biasanya terpikat atau terhubung secara emosional dengan orang atau sesuatu. Namun, di sisi lain, ia juga merasa frustasi, kecewa, atau bahkan membenci hal tersebut pada saat yang sama.
Contoh umum yang paling mudah ditemui dari love-hate relationship adalah hubungan antara dua individu yang secara emosional terikat satu sama lain, tapi seringkali mengalami konflik atau ketegangan yang intens.
Misalnya nih, ada pasangan yang sering bertengkar tapi sebenarnya juga saling mencintai. Atau jika dikaitkan dalam dunia pekerjaan, misalnya seorang pekerja yang kesal dengan pekerjaannya tapi di sisi lain juga mencintai hal tersebut.
Yup, kita bisa banget loh berada dalam hubungan love-hate ini. Disadari atau enggak, hubungan semacam ini sebenarnya cukup kompleks dan penuh dengan perasaan yang beragam.
Seseorang bisa merasakan perasaan cinta dan kebencian terhadap orang atau hal yang sama secara bersamaan atau bergantian. Konteksnya bisa ditemukan dalam berbagai hal, mulai dari hubungan romantis, keluarga, persahabatan, atau dalam melakoni pekerjaan dan hobi.
Love-hate relationship mencakup situasi di mana seseorang merasa sangat terhubung secara emosional dengan pasangan mereka, tapi juga mengalami konflik atau kesulitan yang mengakibatkan frustasi hingga kebencian. Dalam konteks pertemanan atau persahabatan, seseorang mungkin merasa klop dengan sifat-sifat tertentu dari temannya tersebut, namun juga bisa merasa frustasi oleh kebiasaan atau tindakan mereka.
Hubungan cinta-benci ini memang fenomena yang cukup umum ditemui dalam hubungan interpersonal. Bahkan, hal ini sekaligus menunjukkan bagaimana kompleksitas emosi seorang manusia.
Cinta dan benci memang merupakan dua perasaan yang cukup berlawanan, tapi keduanya juga memiliki hubungan dan keterkaitan satu sama lain. Keduanya bisa muncul secara bersamaan atau bergantian dalam hubungan tertentu.
Beberapa teori psikologis mengemukakan bahwa cinta dan benci sebenarnya berasal dari akar yang sama, yakni perasaan intens terhadap seseorang atau sesuatu.
Dilansir dari jurnal bertajuk 'Passionate Love as a Function of Change in Intimacy', teori Freudian mengatakan bahwa benci bisa jadi merupakan hasil dari konflik internal yang melibatkan dorongan-dorongan bawah sadar yang bertentangan. Jika dikaitkan dengan hubungan romantis, seseorang mungkin merasa benci terhadap pasangannya karena mereka merasa terganggu oleh ketidaksesuaian antara keinginan dan harapan dengan kenyataan hubungan tersebut.
Di sisi lain, perasaan cinta yang terlalu dalam juga bisa memicu perasaan benci, jika seseorang merasa terluka, dikhianati, atau kecewa pada orang mereka cintai. Sebagai contoh, seseorang yang sangat mencintai pasangannya, akan merasa sangat marah dan kecewa ketika pasangannya melakukan sesuatu yang menyakiti atau mengkhianati mereka.
Cinta dan benci mungkin terlihat sebagai perasaan yang saling bertentangan, namun kadang keduanya bisa saling terkait dan muncul dalam konteks yang sama.
Perasaan cinta dan benci yang dirasakan secara bersamaan atau bergantian biasanya disebut dengan istilah 'ambivalensi emosional' atau 'konflik emosional'. Ambivalensi emosional digambarkan dengan perasaan yang kompleks di mana seseorang merasakan dua perasaan yang bertentangan, seperti cinta dan benci terhadap orang atau sesuatu.
Konflik emosional sendiri mengacu pada keadaan di mana seseorang merasa terjebak antara perasaan yang berlawanan, dalam hal ini cinta dan benci. Orang-orang yang mengalami perasaan ini biasanya akan mengalami kesulitan dalam memahami atau menavigasi perasaan mereka.
Mana yang lebih kuat antara cinta dan benci? Kayaknya setiap orang pasti punya jawaban yang berbeda, tergantung dari individu dan konteksnya. Ada yang merasa cintanya lebih kuat daripada rasa bencinya, tapi ada pula yang begitu benci tapi masih menyimpan rasa cinta.
Dalam beberapa kasus, cinta mungkin dianggap lebih kuat karena dianggap sebagai kekuatan positif yang bisa mengatasi rasa sakit dan kesengsaraan. Selain itu, cinta juga bisa memicu timbulnya perilaku yang tulus dan penuh kasih sayang. Namun berbarengan dengan hal itu, rasa cinta yang terlalu dalam juga membuat seseorang rentan mengalami rasa sakit dan kecewa.
Di sisi lain, rasa benci juga memiliki kekuatan yang sama besar dan bisa memengaruhi perilaku seseorang secara negatif. Kebencian mendalam bisa memantik konflik, kekerasan, perasaan dendam yang merusak.
Sebenarnya, dua perasaan ini bisa mencapai titik maksimal. Apalagi, keduanya adalah tipe emosi yang kompleks, yang bisa memberikan dampak atau efek berbeda bagi tiap individu.
Hubungan love-hate seringkali bisa menjadi bentuk dari toxic relationship, terutama jika perasaan benci atau konflik terus menerus mendominasi hubungan tersebut. Toksikitas dalam hubungan ditandai dengan pola interaksi yang merugikan dan merusak salah satu atau kedua pihak yang terlibat.
Dalam konteks love-hate relationship, meski ada cinta yang kuat dalam hubungan, konflik berkepanjangan, pertengkaran, hingga perilaku yang merugikan secara emosional bisa merusak kesehatan hubungan tersebut.
Namun, perlu diingat bahwa tidak semua love-hate relationship berakhir menjadi hubungan yang toksik. Ada beberapa pasangan yang bisa menavigasi perasaan mereka dan menemukan cara untuk mengelola konflik dengan cara yang lebih sehat.
Kunci agar love-hate relationship tidak berujung menjadi toksik adalah dengan menjaga komunikasi tetap terbuka, saling menghargai, dan ada keterlibatan aktif dari kedua belah pihak untuk memperbaiki dan memperkuat hubungan mereka.