© Shutterstock
Berbagai tindakan selalu diawali dari gagasan yang muncul di kepala sebelum akhirnya dieksekusi dalam bentuk perbuatan. Kita minum setelah otak mengirim sinyal tanda kehausan, berlari karena merasakan bahaya, tidur sebagai respon atas rasa lelah, dan masih banyak lagi.
Penjelasan di atas sangat bisa dipahami untuk tindakan-tindakan sederhana. Namun untuk kekerasan seksual, rasanya sulit untuk kita mengurai apa yang sebenarnya ada di dalam kepala pelaku.
Apa yang membuat seseorang tega untuk merenggut bagian berharga orang lain hanya demi kepuasan biologis semata? Sudah terlalu bernafsu, punya dorongan untuk menguasai korban, khilaf, atau--yang paling sering dijadikan alasan--bercanda? Mungkinkah seseorang benar-benar khilaf atau bercanda untuk melakukan hal yang berpotensi meninggalkan trauma mendalam seperti itu?
Pemikiran dari pelaku pelecehan seksual rupanya adalah suatu hal yang cukup kompleks. Hal ini pernah dibuktikan oleh seorang psikolog klinis asal South Carolina bernama Samuel D. Smithyman lewat penelitian yang ia rangkum dalam tesis berjudul 'The Undetected Rapist' (1979). Untuk kepentingan penelitian tersebut, Smithyman melakukan wawancara terhadap 50 orang laki-laki pelaku pelecehan seksual dari berbagai latar belakang. Mulai dari programmer komputer, pelukis, sampai seorang milyuner yang tinggal di Beverly Hills.
Latar belakangnya sangat beragam sehingga sulit untuk melakukan generalisir terhadap satu golongan tertentu yang bisa kita cap sebagai pelaku pelecehan seksual. Namun, ada satu hal yang dapat ditarik oleh Smithyman dari penelitian tersebut adalah bagaimana para pelaku cenderung merasa nggak bersalah, terlihat dari bagaimana normalnya reaksi mereka saat menceritakan tentang pelecehan seksual yang diperbuat.
Pelaku-pelaku pelecehan seksual yang mengaku bercanda dan narasumber Smithyman yang menceritakan pelecehan tanpa perasaan bersalah. Hmm, kayaknya ada satu pola yang sama nih Diazens.
Menebak secara pasti apa yang ada di pikiran seseorang adalah hal yang hampir nggak mungkin dilakukan, kecuali kamu peramal dan kita semua tahu peramal itu nggak ada. Namun, membaca tanda psikologis dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk mengidentifikasi seorang pelaku pelecehan seksual. Prudy Gourguechon, seorang psikiater dan psikoanalis dari American Psychoanalytic Association menjabarkan tiga aliran psikologis yang menjadi dasar perbuatan dari pelaku pelecehan seksual.
- Kecenderungan Kepribadian
Semua orang tumbuh dengan sikap yang berubah-ubah sesuai dengan proses hidup yang dijalani. Kendati demikian, ada satu hal yang tidak akan mungkin berubah, yakni kepribadian. Beberapa kepribadian yang bisa menggiring seseorang untuk menjadi pelaku pelecehan seksual adalah sebagai berikut:
- Faktor dan Mekanisme Psikologis Terkini
Cara kerja psikologis menyimpang yang digunakan sebagai respon atas situasi yang dihadapi dapat mengarahkan seseorang untuk menjadi pelaku pelecehan seksual. Di antaranya adalah:
- Kontribusi Pengaruh Lingkungan
Lingkungan adalah salah satu faktor terbesar yang memungkinkan seseorang untuk menjadi pelaku pelecehan. Salah satu atau lebih karakteristik lingkungan berikut dapat memicu munculnya pelaku pelecehan seksual baru, yakni:
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku melecehkan tak pernah muncul begitu saja. Kasus ini sama sekali berbeda dengan suatu kekhilafan karena pelecehan seksual adalah tindakan yang dilakukan secara sadar dan dengan keinginan sendiri.
Pelaku pelecehan seksual melancarkan aksinya karena tidak adanya kontrol dalam diri, merasa bahwa segala yang diinginkan harus dipenuhi saat itu juga, bahkan jika harus merugikan orang lain sekalipun. Alih-alih khilaf, yang menempatkan pelaku seolah tak berdaya, pelecehan seksual justru merupakan wujud dari penyalahgunaan kekuasaan atau otoritas. Terlihat dari data pelaku pelecehan seksual dari Komisi Nasional Perempuan yang ternyata didominasi oleh orang terdekat korban, mulai dari lingkup keluarga sampai tempat kerja.
Rasanya juga mustahil untuk menganggap normal saat seseorang merasa dilecehkan secara seksual oleh pelaku yang menggunakan 'bercanda' sebagai alasan. Bona Sardo, MPsi, psikolog dari Universitas Indonesia, memang menyebut bahwa bercanda adalah sesuatu yang batasannya nggak jelas. Persepsi satu orang dengan lainnya bisa berbeda dalam memberi tanggapan. Namun, sepertinya kita bisa sepakat kalau pelecehan seksual adalah tindakan yang batasannya jelas. Dalam hal ini, seharusnya persepsi kita sama, yakni sama-sama menentangnya.
Mencoba mengerti kecenderungan pelaku pelecehan seksual sejak dari alam pikirnya hanyalah salah satu usaha untuk memutus mata rantainya.
" Kalau tidak benar-benar mengerti isi kepala para predator, kamu tidak akan bisa memahami tentang pelecehan seksual yang dilakukannya," ungkap Sherry Hamby, editor jurnal 'Psychology of Violance'.
Namun untuk membuatnya benar-benar sirna, hanya ada satu cara, yakni dengan mengontrol diri agar orang-orang dengan kecenderungan psikologis seperti dalam pembahasan di atas tidak melecehkan. Setuju, Diazens?