Shutterstock.com
/Pelecehan seksual/ adalah perilaku seksual yang tidak diinginkan, yang membuat seseorang merasa tersinggung, terhina dan/atau terintimidasi.
Beberapa waktu yang lalu, kita diramaikan lagi dengan kasus pelecehan seksual yang dilakukan seorang public figure. Kasus pelecehan ini pun bisa datang dari kalangan mana saja, bahkan seorang artis sekalipun.
Di beberapa platform media komunikasi, kita sering melihat sosok artis yang kita kagumi mengucapkan berbagai pernyataan retoris tentang perjalanan kehidupannya yang ini dan itu. Mereka juga kerap kali menyuguhkan kata-kata motivasi dalam obrolan realistis yang dikemas sedemikian rupa untuk membuat semua orang kagum padanya. Namun, tentunya kita tidak tahu bagaimana kehidupan sebenarnya mereka di luar media yang ternyata bisa sangat merugikan salah satu pihak.
Pada tahun 2018, pernah terjadi kasus kekerasan seksual yang menimpa seorang mahasiswi UGM. Kemudian di tahun 2021 ini, datang lagi kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh salah seorang public figure. Banyak sebenarnya kasus pelecehan yang terjadi di Indonesia dan hal itu masih tetap dianggap sebagai kasus angin lalu oleh masyarakat dan hukum.
Masyarakat yang sering kita temui masih banyak menyalahkan dan menyudutkan korban alih-alih membelanya atas pelecehan seksual yang dialaminya. Belum lagi ketika korban hendak melapor kepada pihak berwajib, pertanyaan pertama yang mereka tanyakan justru sebuah pertanyaan yang menyudutkan dan tidak sopan. Ini merupakan budaya victim blaming yang sering dilakukan kepada korban. Victim blaming merupakan sebuah tindakan dan sikap yang menuntut korban untuk lebih bertanggung jawab atas penyerangan dan perlakukan kekerasan yang menimpa dirinya.
Hal ini juga yang melandasi bukti kuat mengapa budaya victim blaming di masyarakat terus terjadi. Budaya victim blaming ini sudah terjadi sejak era Orde Baru atau jauh sebelum masa itu. Seorang Dosen dari Monash University bernama Susan Blackburn menulis jurnal yang berjudul Gender Violence And The Indonesian Political Transition (1999) tentang kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan terhadap wanita Tionghoa secara besar-besaran pada tahun 1998. Pihak kepolisian meragukan kejadian pemerkosaan dan pelecehan yang terjadi saat itu karena tidak adanya bukti dan laporan yang konkret.
Salah seorang Panglima TNI, Jenderal Wiranto, juga tidak mengindahkan tentang kejadian pemerkosaan ini. Susan juga menemukan bahwa pemberitaan media di Indonesia beserta pihak berwajib sering memojokkan perempuan dalam kasus kekerasan dan pelecehan seksual. Hal-hal klise yang hingga saat ini sering dikatakan adalah menyalahkan pakaian yang digunakan korban serta stigma bahwa perempuan (korban) memancing “ hasrat” pelaku tersebut.
Bukti kedua di mana tidak ada yang berpihak kepada korban adalah terjadinya kasus pelecehan seksual pada seorang guru di Lombok. Guru tersebut merekam percakapan asusila yang dilakukan kepala sekolah kepada dirinya. Hasil akhirnya adalah guru tersebut harus mendekam di dalam penjara selama 6 bulan dan membayar denda sebesar Rp 500 juta karena dinyatakan melanggar UU ITE.
Belum lagi ketika masyarakat melihat alasan mengapa perempuan kerap kali menjadi korban pelecehan seksual, mereka selalu mengaitkannya dengan pakaian yang digunakan oleh perempuan, tempat yang perempuan ini kunjungi, dan alasan-alasan lain yang menormalisasikan tindakan pelaku.
Tentunya budaya victim blaming kerap terjadi di Indonesia dan membuat korban enggan untuk menceritakan masalahnya kepada orang lain. Korban merasa takut dengan stigma-stigma yang akan diberikan dan mendapatkan diskriminasi dari pihak-pihak yang seharusnya menjadi tempat teraman bagi korban. Belum lagi korban masih harus berurusan dengan kesehatan mental mereka yang mengakibatkan trauma mendalam bagi si korban.
Sebenarnya, kasus pelecehan seksual ini bisa berhenti jika semua orang tahu apa makna dari “ consent” itu sendiri dan hukum juga bisa memihak kepada korban dengan benar.
“ Kenapa baru speak up sekarang?”
“ Kejadian tiga tahun itu mah udah lama banget, mana ada yang inget?”
“ Kok nggak dari dulu pas kejadian langsung lapor aja?”
Dan masih banyak pertanyaan menyudutkan lainnya.
Sering kali kita mendengar pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang ditujukan terhadap korban. Masyarakat bukan sibuk menanyakan keadaan korban dan malah sibuk menyalahkan dengan pertanyaan dan dugaan yang tidak-tidak kepada korban. Di Indonesia sendiri budaya menyalahkan korban atas perilaku pelecehan seksual ini dipengaruhi oleh budaya patriarki yang sudah mendarah daging. Akibat dari patriarki ini laki-laki menuntut perempuan untuk bisa lebih patuh dan hormat dalam berbagai kasus kehidupan. Tidak salah jika memang banyak gerakan-gerakan feminis yang menyuarakan kesetaraan hak perempuan agar menjadi seimbang dengan laki-laki. Apalagi jika menyangkut kasus pelecehan seksual.
Korban dari pelecehan seksual bukan tidak mau speak up saat itu juga. Mereka hanya takut dengan konsekuensi-konsekuensi yang akan mereka dapatkan ketika melapor. Budaya menyalahkan korban ini membuat korban jadi mengalami penderitaan ganda: dilecehkan dan disalahkan. Belum berakhir penderitaan korban, faktor psikologi yang dialami membuat korban tidak bisa langsung speak up.
Menurut Dr. Dra. N.K. Endah Triwijati M.A. seorang dosen Psikologi Universitas Surabaya (UBAYA), alasan mengapa korban enggan atau takut untuk membuka suara adalah :
- Rasa Bingung
Rasa bingung ini disebabkan karena korban tidak bisa mengidentifikasikan apa yang baru saja terjadi kepadanya. Tanpa mereka sadari, otak mereka blank tanpa bisa mencerna apa saja yang baru saja terjadi.
- Perasaan Malu
Korban cenderung akan merasa malu atas kejadian yang menimpanya. Belum lagi apabila korban berani menyuarakan suaranya atas apa yang menimpanya, korban akan berubah menjadi pelaku yang disalahkan oleh masyarakat atas cara berpakaian, gaya hidupnya, dan kehidupan pribadi yang melekat padanya.
- Rasa Bersalah
Korban akan menyalahkan dirinya sendiri dan kerap mempertanyakan kenapa dirinya tidak bisa menghentikan tindakan pelecehan itu. Dalam situasi seperti ini bisa membuat korban mengalami depresi akibat pelecehan seksual yang dilakukan oleh pelaku.
- Penyangkalan
Pada tahap ini korban berusaha menyakal kejadian yang telah dirinya lalui dengan menganggap pelecehan tersebut tidak pernah terjadi. Namun, disisi lain bayangan-bayangan tentang pelecehan tersebut kerap muncul dalam pikiran.
Kesadaran penuh laki-laki sungguh diperlukan untuk meminimalisir kasus pelecehan seksual dan budaya victim blaming. Kami Ingin Pria jadi Solusi Menghapus Relasi Patriarki menjelaskan secara jelas bahwasanya budaya patriarki ini sangat merugikan kedua belah pihak. Perempuan kerap kali dilecehkan hanya karena anggapan perempuan tidak lebih baik dari laki-laki, dan laki-laki juga kerap disudutkan oleh masyarakat akibat pekerjaan dan hal-hal materi lainnya.
Kasus-kasus pelecehan seperti ini harusnya bisa menjadikan pelajaran untuk kita dan hukum yang ada di Indonesia. Bukan soal pakaian yang digunakan dan gaya hidup lagi, melainkan bagaimana perilaku kita untuk mengontrol hal-hal yang dapat merugikan orang lain.
Selain itu untuk melawan budaya victim blaming yang sudah mengakar di Indonesia ini, ada baiknya kita mencoba memposisikan diri kita sebagai korban atas kejadian yang menimpanya dan mengubah cara pandang serta pola pikir kita.
Tumbuhkanlah rasa empati pada korban, karena tidak mudah bagi korban untuk bangkit dari peristiwa pelecehan seksual ini. Korban juga butuh didampingi selama proses hukum dan pemulihan diri. Dukungan moral dan rasa percaya kita pada korban akan lebih baik diberikan, daripada hanya sekadar menyudutkan dan menyalahkan korban tanpa dasar yang jelas.