© Shutterstock.com/9nong
Membandingkan diri dengan orang lain kerap kali kita lakukan, terutama di masa Quarter Life Crisis (QLC). Mulai dari membandingkan pencapaian, pekerjaan, kondisi fisik, sampai hubungan. Walau wajar terjadi, perbandingan diri ini bisa menjatuhkan kita pada jurang QLC lho.
Salah satu pertanda bahwa kita sedang mengalami Quarte Life Crisis (QLC) adalah merasa tertinggal dengan pencapaian orang lain, utamanya teman sebaya. Hal ini terjadi lantaran kita melakukan perbandingan sosial antara diri kita dengan orang lain.
Hayo ngaku, siapa yang lebaran kemarin menjadi ajang membandingkan diri dengan saudara? Kalau 'iya' tentu rasanya enggak enak sama sekali, yang ada bawaannya sebel terus bukan?
Nah, nggak hanya pas lebaran aja. Perbandingan ini seringkali dan tidak bisa dirasakan, kita juga pernah melakukannya. Terutama ketika memasuki masa QLC dan melihat berbagai pencapaian teman di media sosial.
Lalu, bagaimana sih fenomena perbandingan tersebut dalam sisi psikologi? Berikut ulasan selengkapnya melansir dari Insight.me.
Sosial comparison ini dapat berbentuk Upward Social Comparison (perbandingan ke atas) dan Downward Social Comparison (perbandingan ke bawah). Selain itu, bagaimana cara kita merspon perbandingan ini diklasifikasikan menjadi Contrastive Comparisons (perbandingan kontras) dan Assimilative Comparisons (perbandingan asimialif).
Upward Comparison adalah ketika kita membandinkan diri dengan seseorang yang dianggap lebih baik atau berada di atas kita. Sedangkan, Downward Comparison adalah saat kita membandingkan diri dengan orang yang dianggap lebih buruk atau berada di bawah kita.
Keduanya dapat memiliki dampak positif dan negatif. Semua itu tergantung dari bagaimana respons kita, apakah merespon dengan perbandingan kontras atau asimilatif?
Perbandingan kontras ini lebih menekan perbedaan dan membuat jarak antara kita dan orang yang dibandingkan. Contohnya adalah Upward Comarison seperti respon pada diri yang merasa malu dan depresi, respon pada diri dan orang lain akan iri dan dengki, respon pada orang lain akan kebencian.
Sedangkan pada Downward Comparison contohnya adalah respon pada diri akan rasa bangga, respon pada diri dan orang lain karena merasa schadenfruende atau senang ketika melihat orang lain susah, dan respon pada orang lain berupa cemoohan dan penghinaan.
Perbandingan asimilatif ini lebih fleksibel karena kita membandingkan dengan keadaan orang lain namun masih berfikir bahwa keadaan tersebut juga bisa kita alami sendiri.
Pada Upward Comparison contohnya berupa optimisme, menjadi inspirasi, dan rasa kagum. Sedang pada Downward Comparison adalah rasa takut dan khawatir, simpati, dan rasa kasihan.
Respon perbandingan asimilatif akan menghasilkan emosi yang lebih positif dan diinginkan, lho. Coba deh cek apa perbandingan yang selama ini kamu lakukan?
Membandingkan diri ini memang nggak akan ada habisnya ya Diazens. Tapi, kamu tetap bisa membuat perbandingan yang lebih posiif dang mengubahnya menjadi versi terbaik dalam diri kamu kok.
Semoga, kamu selalu dipermudah dalam setiap berkegiatan hari ini, esok, dan hari-hari kemudian ya. Semangat!