© Instagram.com/wantshowasyoung
Istilah puber kedua lekat dengan lelaki di usia 40-an. Disebut demikian karena tingkah laku yang ditunjukkan seperti mengulang masa puber di usia belasan. Indikasinya biasa ditunjukkan dengan berbagai tindakan impulsif yang terkesan "bandel" seperti selingkuh, beli barang-barang mahal tanpa diskusi dengan istri, dan lain sebagainya.
Kenyataannya, dunia medis tidak mengenal istilah puber kedua. Kondisi ini lebih dekat dengan gejala psikologis yang cukup kompleks. Hasilnya juga tak selalu negatif. Beberapa orang bisa menyalurkannya ke arah kegiatan yang menyenangkan dan positif.
Memiliki kemiripan dari segi tingkah laku, namun puber kedua sangatlah berbeda dari puber pertama yang dialami saat remaha.
Puber pertama hadir atas dorongan hormonal, sementara puber kedua lebih bersinggungan dengan kondisi psikologis seseorang.
Istilah puber kedua digunakan untuk menggambarkan krisis kehidupan yang banyak terjadi pada orang-orang berusia 40-50 tahun. Tak seperti anggapan pada umumnya, perempuan pun juga bisa merasakan puber kedua layaknya laki-laki.
Puber kedua bisa terjadi karena dipicu banyak hal, namun utamanya adalah karena ketidak siapan seseorang menghadapi suatu perubahan.
Di usia tersebut, biasanya pasangan akan mulai menghadapi perpisahan dengan anak. Entah merantau untuk menempuh pendidikan atau karena menikah.
Selain itu di usia 40-an, kegembiraan prosesi ulang tahun sudah berbeda dengan saat masih ada di usia belasan, 20-an, atau 30-an. Terlebih jika dihadapkan pada situasi di mana teman-teman seusia yang sudah mulai sakit-sakitan atau bahkan meninggal dunia.
Dalam grafik kebahagiaan manusia yang berbentuk huruf U, usia 40-50 tahun bagi sebagian besar orang adalah titik terendah yang mereka rasakan.
Situasi inilah yang kemudian mendorong mereka untuk melakukan banyak hal, semata-mata demi tetap meraup kebahagiaan.
Meski berbeda dari segi pemicu, namun cara menghadapi puber pertama bisa diterapkan juga untuk kondisi puber kedua.
Jika dalam puber pertama seorang remaja sangat butuh peran dari orang tua, maka di puber kedua seseorang butuh dukungan dari pasangan masing-masing.
Sebagai pasangan suami istri, agaknya perlu diterapkan keterbukaan satu sama lain tentang kondisi tersebut karena baik laki-laki maupun perempuan sama-sama punya potensi mengalami puber kedua. Dengan keterbukaan, diharapkan suami istri bisa saling dukung dan mengelola psikologis satu sama lain dengan baik.
Layaknya obsesi hormonal di pubertas pertama pada remaja, dorongan psikologis yang membuncah karena puber kedua bisa dikonversikan menjadi sebuah karya dan tindakan yang bermanfaat selama pengelolaannya baik.
Semoga tidak ada lagi alasan pernikahan bermasalah karena puber kedua, ya.