Menjelajahi Kota Tua, Saksi Sejarah Jakarta dari Zaman Kolonial Belanda

Reporter : Bagus Prakoso
Jumat, 10 Januari 2020 13:00
Menjelajahi Kota Tua, Saksi Sejarah Jakarta dari Zaman Kolonial Belanda
Kota Tua adalah sebuah saksi sejarah dari zaman Kolonial Belanda. Tempat yang kaya akan sejarah dan peninggalan zaman penjajahan

Sementara ibukota Indonesia semakin maju sebagai pusat bisnis global, Kota Tua bisa dibilang masih menjadi tempat wisata utama di Jakarta. Akar kolonial Belanda Indonesia dapat dieksplorasi di sini, dan kawasan bersejarah Jakarta memberikan gambaran tentang bagaimana pemandangan kota sebelum gedung gedung-gedung besar di Jakarta masuk.

Dilansir dari lonelyplanet.com (7/8/2014) Pada 1600-an, Kota menjadi markas Perusahaan India Timur Belanda. Sayangnya warisan kolonial ini tidak dilestarikan juga seperti di pos-pos kolonial Asia Tenggara lainnya seperti Singapura dan Penang, dan hanya ada beberapa sisa-sisa bangunan tertutup kayu yang menarik yang tersisa. Namun, Taman Fatahillah (Alun-Alun Fatahillah) dan sekitarnya adalah tempat tertua di Jakarta yang masih menjadi pusat Kota hingga saat ini.

 

Kota Tua Jakarta

Berjalan kaki di jembatan Kota Intan (juga dikenal sebagai Jembatan Pasar Ayam) Kamu bisa melihat pemandangan Jakarta yang masih kental dengan arsitektur Belanda. Dibangun oleh Belanda pada abad ke-17, jembatan gantung kayu membentang di atas kanal Kali Besar, dan digunakan untuk mengakomodasi kapal dagang. Namun, jembatan ini menjadi terbengkalai, dan tidak dapat dilintasi oleh pejalan kaki, papannya rusak. Namun masih ada pembicaraan tentang proyek renovasi. Untuk saat ini, masih bisa dikunjungi, kamu bisa menyaksikan monumen langka di era kolonial Belanda di kota ini.

Dari jembatan, dengan pemandangan kanal Kali Besar di kananmu, hanya sepuluh menit berjalan kaki lurus ke arah Taman Fatahillah. Kamu akan dihadapkan dengan keramaian orang dan kendaraan bermotor.

 

Kota Tua Jakarta

Bangunan-bangunan di sepanjang jalur ini memiliki nuansa Eropa yang khas, dengan kondisi gedung-gedung yang sudah terlihat tua. Saat kamu mendekati alun-alun, jalanan menjadi berjajar pohon-pohon dan pedagang kaki lima yang menjual makanan seperti siomay bandung, pangsit ikan kukus disajikan dengan saus sate kacang dari gerobak kayu. Akhirnya kamu mencapai lengkungan besi cor di sebelah kiri yang menandai pintu masuk ke Taman Fatahillah.

Alun-alun pusat Kota seluas 1,8 hektar ini biasanya penuh dengan masyarakat lokal. Dihiasi dengan payung bergaris-garis berwarna-warni, itu adalah pujasera yang menjual segala macam turis dan makanan jalanan. Aroma manis, pedas dan barbeque tercampur di alun-alun, dan kamu bisa mencicipi hidangan lokal, dari gado-gado hingga kerak telor. Sebuah festival makanan juga diadakan di Taman Fatahillah setiap tahun di bulan Maret.

Luangkan waktu untuk menjelajahi jalan-jalan kecil yang jauh dari alun-alun untuk melihat peninggalan kolonial yang lebih asri, dan melihat seniman tatoo lokal bekerja di studio mereka di pinggir jalan. Pilihan lain adalah menyewa salah satu dari banyak sepeda warna-warni untuk disewa, dengan topi floppy warna senada secara gratis untuk melindungi kamu dari sinar matahari.

Kamu juga bisa mengunjungi Museum Wayang untuk memahamai bagaimana seni mendongeng wayang ini sudah ada di Indonesia selama berabad-abad. Pameran museum berkisar dari boneka Wayang Banjay abad ke-16 dari Kalimantan Hingga Unyil, boneka tangan dari acara TV anak-anak tahun 1980-an. Pertunjukan gratis wayang berlangsung di teaternya setiap hari Minggu. Pintu masuk ke museum adalah Rp 5.000 Ada juga Museum Sejarah Jakarta di bekas balai kota di sisi selatan alun-alun, meskipun pamerannya agak jarang.

Mendominasi sisi utara Taman Fatahillah, Cafe Batavia dinamai dengan nama bekas ibukota kolonial. Bertempat di sebuah bangunan abad ke-19 yang awalnya digunakan oleh pemerintah Belanda. Cafe Batavia adalah tempat yang tepat untuk melepaskan diri dari panas dan mengawasi orang-orang di Taman Fatahillah. Kursi, jendela di lantai atas yang seluruhnya terbuat dari kayu jati Jawa, dengan hidangan utama rata-rata Rp 200.000.

 

Kota Tua Jakarta

Jika kamu ingin melihat lebih banyak bangunan kolonial, sewa sepeda dari Taman Fatahillah (sekitar 20.000Rp / jam) dan mengayuh 1,5 km ke Sunda Kelapa, pelabuhan bersejarah Jakarta. Ini adalah saksi sejarah mengapa kota ini menjadi pusat perdagangan internasional. Berjalanlah di antara deretan kapal Bugis Phinisi Schooner tradisional yang berlabuh di dermaga dan membaca kios-kios pasar ikan yang sibuk, menyerap suasana setempat. Jika kamu punya waktu, kunjungi Museum Bahari yang ditutup dengan pirus, yang menceritakan sejarah bahari kepulauan Indonesia.

Bagaimana? Tertarik mengunjungi Taman Fatahillah di akhir pekan? Kamu bisa mengajak teman, keluarga, atau pacar kamu untuk sekedar berjalan-jalan dan menyusuri sejarah Kota Tua ini.

Beri Komentar